Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Masalahnya, Caleg Eks-Koruptor Bukan Kekasih Anda

2 Juni 2018   12:00 Diperbarui: 17 September 2018   12:02 2491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari lalu Presiden Jokowi sudah angkat bicara, mantan narapidana kasus korupsi atau eks-koruptor punya hak menjadi calon anggota legislatif, caleg (1). Untuk sikap itu, presiden di-bully warganet. "Jelas kini, boneka koruptor," bunyi komentar warganet atas berita itu. Padahal kalau mau simpati publik, presiden baiknya ikut arus sentimen publik, sejalan dengan KPU. Mengapa presiden tidak populis saja?

Benci pada koruptor itu bagus. Mencegah jangan sampai koruptor kembali korupsi juga sangat baik adanya. Mantaplah jika Komisioner KPU bisa punya inisiatif itu, melampaui tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara pemilu. Sungguh orang-orang berdedikasi.

Melarang bekas koruptor jadi caleg sepintas logis saja. Mereka korup saat punya ---bukan sebab, lho-- kekuasaan. Jika eks-koruptor kembali berkuasa, menjadi anggota legislatif, mereka akan kembali korupsi.

Maka membolehkan eks-koruptor nyaleg dipandang serupa mendudukkan kucing di depan piring penuh daging. Sudah pasti di-embat.

Ah, tidak, itu berlebihan. Kucing hanya punya naluri. Ia tidak bernalar soal baik-buruk. Ia tidak paham peraturan, tidak punya moral. Hanya insting. Koruptor itu manusia. Sebelum bertindak, ia berpikir dulu, ia menimbang salah-benar, pantas-tak-pantasnya.

Namanya juga cat, kucing garong sekalipun tetaplah cute. Koruptor bukan cat, juga tak sedikitpun cute, tetapi hak mantan koruptor jangan di-cut | diolah dari kucingpedia.com
Namanya juga cat, kucing garong sekalipun tetaplah cute. Koruptor bukan cat, juga tak sedikitpun cute, tetapi hak mantan koruptor jangan di-cut | diolah dari kucingpedia.com
Mungkin lebih enak, perumpamaannya diubah jadi kekasih yang lancung.

Seorang gadis tersedu-sedu di depan jendela. Seorang pemuda mabuk di pos ronda. Keduanya bernasib sama, diselingkuhi kekasih tercinta yang berjumpa pacar lama di acara reuni sekolah.

Ketika kelak si kekasih insyaf, memutuskan selingkuhan dan berjanji tak akan khianat lagi; si pemuda berhenti mabuk, si gadis menyeka air mata dan melalui hari-hari penuh tawa. Dimaafkanlah kekasih yang pernah khilaf dan kini insyaf.

Tetapi memaafkan bukan berarti tanpa antisipasi. Si pemuda dan gadis belajar dari kesalahan. Kekasih mereka tak lagi diizinkan menghadiri reuni sekolah di tahun-tahun mendatang.

Sialnya, eks-koruptor bukan kekasih Anda, Om-Tante, dan menjadi caleg bukan tetek bengek sesederhana reuni sekolah.

Eks-koruptor adalah warga negara. Tiap-tiap warga negara melekat pada dirinya hak-hak yang diakui konstitusi. Koruptor juga adalah manusia, dan tiap-tiap manusia melekat pada dirinya hak asasi yang tanpa pemenuhannya belum paripurna dirinya sebagai manusia.

Hak pilih, memilih dan dipilih dalam pemilu adalah hak asasi sekaligus hak konstitusional. Bicara hak asasi berarti bicara wewenang Tuhan. Bicara hak konstitusi berarti bicara UUD 1945 dan turunan perundang-undangan yang musti mengacu kepadanya. Konstitusi yang beradab adalah yang mengatur perlindungan atas semua hak asasi.

Ketika menjadi narapidana, koruptor kehilangan sebagian hak konstitusinya. Ia tidak merdeka ke mana-mana, juga tidak bisa mencalonkan diri menjadi siapa-siapa dalam pemerintahan, legilatif, dan lembaga publik lain.

Penjara adalah ganjaran atas kejahatan. Karena kejahatan adalah pelanggaran terhadap orde yang disepakati masyarakat---demikian asumsi positifnya---maka kejahatan atau korupsi mengubah seseorang menjadi bukan bagian dari masyarakat.

Tidak menjadi bagian dari masyarakat berarti tidak bisa melakukan atau menerima sejumlah hal selayaknya anggota masyarakat, termasuk tidak bisa dipilih dalam pemilu.

Tetapi penjara juga mekanisme memulihkan penjahat kembali menjadi anggota masyarakat. Makanya penjara disebut Lapas, Lembaga pemasyarakatan.

Menghabiskan hukuman dalam penjara adalah membayar kesalahan, menjadikan impas. Impas berarti kondisi kembali ke nol. Ia tiada lagi berutang apapun. Ia kembali menjadi masyarakat, berarti kembali memiliki hak-hak serupa tiap-tiap anggota masyarakat lain.

Jadi eks-napi korupsi adalah warga masyarakat yang sama dengan Om-Tante semua. Ketika mendaftar caleg, eks koruptor sama dengan caleg lain yang belum korupsi; sama dengan anak pejabat yang baru tamat sekolah dan kini diorbitkan bapaknya untuk jadi anggota parlemen; sama dengan ibu rumah tangga yang ingin berpenghasilan sendiri dengan menjadi anggota DPR; sama dengan pemuda pengangguran yang terlalu takut menjadi TKI dan merasa jago membual sehingga layak duduk di lembaga tukang bicara.

Melarang eks-napi korupsi mencalonkan diri dalam pemilu adalah pelanggaran atas hak konstitusinya, pelanggaran konstitusional.

Ada bentuk penalaran keliru yang disebut two wrongs make a right.

Menyerbu kantor Majalah Tempo atau kantor Radar Bogor itu salah, melanggar hukum. "Ya tetapi mereka bikin karikatur menyinggung junjungan kami seolah-olah ia Bang Toyib. Ya tetapi mereka melukai hati bunda jujungan kami, menyebutnya ongkang-ongkang kaki terima Rp 100 juta," jawab Om-Tante dengan penalaran keliru ini, seolah-olah tindakan salah bisa jadi benar asalkan dilakukan terhadap sesuatu yang sudah salah duluan.

Contoh cara bernalar salah
Contoh cara bernalar salah
Serupa juga perkara caleg eks-koruptor ini.

Korupsi adalah salah. Tetapi tidak lantas itu membenarkan pengabaian terhadap hak warga negara bekas koruptor. Two wrongs don't make a right!

Banyak pula warganet yang dengan percaya diri berteori, "Hak ada setelah kewajiban." Konsekuensinya jika seseorang tak jalankan kewajiban sebagai warga negara, ia tak berhak atas itu. Koruptor abai terhadap kewajiban mengelola kekuasaan dengan baik maka ia tak berhak dipilih lagi meski telah selesai menjalani hukuman.

Ini logika mandor kebun tebu. Demi potong upah buruh tani dipakailah jalan pikiran itu. "Kerja kalian kurang sip, maka wajar upah kurang dari kesepakatan pagi tadi."

Anda dengar dari mana teori itu? Dari pedagang kata mutiara di talkshow tv? Dari ketua RT? Atau Anda memang mandor kebun tebu?

Hak bukan konsekuensi dari kewajiban. Hak konstitusi warga negara adalah konsekuensi atas status sebagai warga negara. Hak asasi adalah konsekuensi terlahir sebagai manusia.

Hak dan kewajiban sama posisinya, sama-sama konsekuensi dari status sebagai warga negara atau sebagai manusia. Jangan aneh memperdebatkan mana dahulu mana kemudian.

Sejak dulu sudah ada ketentuan, mantan narapidana yang pernah divonis dengan pasal berancaman pidana minimal 5 tahun---jika tak salah ingat begitu ketentuannya---wajib menginformasikan kepada publik sebagai syarat pen-caleg-annya.

Jika itu dirasa kurang pas sebab eks-napi korupsi harus mendapat penekanan khusus---saya setuju sebab korupsi adalah kejahatan yang memang terkait kekuasaan---maka jalannya bisa dengan mencantumkan keterangan tambahan di kertas suara. Misalnya "2. Tuan Martinus (mantan narapidana korupsi)."

Begitulah. Wajar mencurigai mantan koruptor akan kembali jadi koruptor jika diberikan kesempatan. Kita perlu ambil langkah-langkah pencegahan agar jangan sampai anggota parlemen terpilih hanyalah kumpulan koruptor. Tetapi jangan sampai itu ditempuh dengan pelanggaran juga, dengan kejahatan atas hak konstitusional orang.

Sudah sangat banyak kasus bangsa ini memperbaiki kesalahan dengan kesalahan baru. Bergerak dalam pendulum dari satu ekstrim ke ekstrim seberangnya. Tidak bisa begini terus.

Silakan kita larang kekasih atau suami-istri menghadiri acara reuni sekolah agar jangan sampai mereka kembali selingkuh oleh perjumpaannya dengan mantan pacar. Jika keberatan, mereka bisa cari kekasih lain. Namun eks-napi korupsi bukan kekasih kita. Mereka tak bisa kita suruh pilih mengganti kewarganegaraan. Memangnya gugus pulau, indah pantai, tinggi gunung, ngarai, hutan, dan segala isi Nusantara ini Opa-Oma kita yang buat?

***

Tilaria Padika

01062018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun