"Betapa beruntung diriku," Tuan Huber membatin.
Sebenarnya Tuan Huber ingin sekali bertanya soal THR itu. Tetapi ia kemudian berpikir  jika THR itu sebenarnya bukan namanya, melainkan sesuatu yang lain. Ia ingin bertanya apa maksudnya tetapi malu akan dianggap orang bodoh. Padahal boss-boss itu tahu jika ia termasuk tokoh masyarakat. Tidak cantik rasanya jika tokoh masyarakat kurang tahu sesuatu, termasuk soal THR itu.
Maka ditahanlah niat bertanya.
Setelah boss-boss lelah dan berhenti bermain kartu, Tuan Huber pamit pulang. Pertanyaan yang tergesa-gesa dibawanya dari rumah tadi kini dibawa kembali. Masih menjadi beban yang memberati kepala dan hatinya.
Belum sekilo meninggalkan kompleks, mobil kantor berhenti. Supir, hanya seorang mengajak Tuan Huber naik.
"Ayo, saya antar Pak Huber."
"Aduh. Pak baik sekali hari ini. Tidak rugi bensin?"
"Jangan kuatir. Saya baru terima THR tadi. Tiga kali gaji. Pak Huber sudah terima?"
Tuan Huber kaget. Aih, jadi THR itu memang tiga kali gaji dan dibagikan ke semua pekerja. Tetapi karena ingin tahu apa sebenarnya barang itu, ia pura-pura bertanya. "THR?"
"Iya, Tunjangan Hari Raya. Kan sudah mau Natal ini. Pak Huber belum terima?"
"Oh, tadi saya dapat amplop. Saya belum lihat isinya apa. Rupanya itu THR."