Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Saran "Outdoor Outfit" Non-Muslim Saat Ramadan

31 Mei 2018   02:01 Diperbarui: 31 Mei 2018   10:48 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sudah pernah membahas soal toleransi sebelumnya, membicarakan pengertiannya dan menerapkannya dalam menilai polemik soal warung makan. Kini kita bicara tentang etika berpakaian selama bulan Ramadan terutama bagi kalangan non-Muslim. Mengapa begitu?

Dalam konteks kebudayaan Indonesia, toleransi perlu dimaknai dalam kualitas yang lebih tinggi, yaitu tepa salira.

Tepa salira bukan sekedar membiarkan orang lain melakukan sesuatu yang mungkin tidak kita setujui atau yakini---selama hal itu baik adanya---tetapi juga mendukung orang melakukan itu. Dalam konteks agama, hal itu bisa dilakukan tanpa harus menyakini nilai-nilai atau kepercayaan di balik itu.

Membiarkan orang lain menjalankan ibadahnya adalah toleransi. Sebuah tindakan pasif. Tetapi membantu agar ibadah itu sukses adalah tepa salira, sebuah campur tangan aktif.

Banyak kok yang melakukan itu di NTT. Setiap Natal, pemuda-pemuda Ansor dan PMII biasanya turut menjaga di lingkungan gereja. Demikian pula pemuda Katolik dan Protestan sering ikut mengamankan dan menjaga parkir saat salat Ied Idul Fitri.

Selain soal makanan sebagaimana telah kita bicarakan dalam artikel "Toleransi dan Polemik Warung," hal berpakaian, terutama outdor outfit  juga penting menjadi  perhatian kalangan non-Muslim selama masa Ramadan.

Ada sejumlah keluhan yang disampaikan di media sosial tentang orang-orang, terutama kaum perempuan yang berpakaian tidak cukup tertutup di ruang publik.

Sudah jamak bahwa lelaki cenderung berpikir macam-macam saat melihat bagian tubuh tertentu pada perempuan. Berpikir jorok. Ya, sebut saja begitu. Anda tahu maksudnya, bukan?

Saat ini tidak penting untuk memperdebatkan bagaimana sampai lelaki mudah berpikiran jorok. Entah itu karena jiwa maskulin hasil bentukan masyarakat, hormon lelaki yang memang begitu, atau mungkin sudah demikian cara tubuh kita bekerja. Sudah dari zaman dahulu begitu adanya.

Tidak elok dan tidak rasional sikap keukeuh "it's just tok*t, otak lu aja yang ngeres."

Jika itu sekedar anggota tubuh yang sama dengan bagian lainnya, mengapa para pekerja di klub malam tidak menggunakan blazzer saja? Mengapa mereka berpakaian serba ketat dan terbuka?

Yang paling penting sekarang adalah bagaimana kita secara aktif berkorban, menahan diri dari kesenangan kita, dari kemerdekaan kita dalam berpakaian untuk menyukseskan ibadah orang lain.

Sebenarnya ini hal mudah untuk dilakukan dan demikian sering yang terjadi dalam keseharian kita.

Bukankah kita sering menyesuaikan pakaian dengan dress code?

Apakah Anda pernah hanya menggunakan celana trainning, kaos oblong, dan sandal jepit saat menghadiri jamuan makan atas undangan boss kantor?

Bukankah Anda sering harus berganti pakaian hitam-hitam dulu ketika hendak menghadiri pemakaman?

Pernahkan Anda hanya menggunakan daster tipis atau piyama ke tempat ibadah?

Bukankah di sekolah dan kantor sudah biasa ada standar berpakaian?

Nah, dalam banyak kesempatan kita rela merepotkan diri untuk menyesuaikan cara berpakaian dengan kepantasan situasi dan kondisi. Maka tentu mudah pula menyesuaikan pakaian kita untuk bertepa salira, mendukung ibadah Ramadan saudara sebangsa yang beragama Islam.

Kita tidak dituntut untuk ikut-ikutan berbusana Muslim. Cukup dengan hal standar saja.

Kita tahu bagian-bagian tubuh yang sering berasosiasi dengan fantasi seks. Umumnya adalah dada, bokong, dan paha.

Kita hanya perlu memilih cara berpakaian yang agak menyembunyikan bagian-bagian itu, memastikan bagian itu tertutup dan tidak tampak menonjol.

Saya pikir itu mudah.

Saya percaya Tante dan Kakak sekalian cukup "chique" untuk memadupadankan outfit sehingga tetap trendy tanpa harus serba ketat dan terbuka.

Jika boleh kasih saran, untuk atasan mungkin bagus tuh padukan konsep layering dan oversized agar bagian tertentu tubuh Tante dan Kakak tidak terlalu menonjol.

Sementara untuk pakaian bagian bawah, jika Tante dan Kakak lebih senang pakai rok, pilihlah yang panjangnya melewati lutut. Model broomstick sepertinya elok dan santun.

Jika Tante dan Kakak gemar pakai celana panjang, sebaiknya pilih yang tidak ketat agar bentuk bokong tidak nyetakke celana. Saya suka rada gimana melihatnya. Jadi seperti ingin nyanyikan lagu Dewa Sembilan 19 yang sebut-sebut "seperti genderang mau perang" itu. 

Sepertinya celana panjang yang model Palazzo atau Kulot manis dan santun tuh.

Terus bagaimana dengan pakaian om-om?

Memang banyak penelitian yang bilang jika otak perempuan tidak sejorok lelaki. Perempuan tidak mudah terangsang melihat bagian-bagian tubuh lelaki. Tetapi ada pula survei yang menyimpulkan bahwa pikiran perempuan pun rada-rada gimana jika melihat dada, perut, bisep, dan bokong lelaki yang berotot.

Jika demikian, maka Om-om pun perlu sedikit mengubah kebiasaan-kebiasaan selama Ramadan ini.

Misalnya selama ini Om sering jogging sore di taman kota. Om senang pakai kaos tanpa lengan dan celana pendek ketat. Om menikmati para mamah muda  curi-curi pandang ke arah bokong Om.

Kadang-kadang Om mungkin sengaja mengganti kaos penuh keringat sebelum sampai ke ruang ganti. Om tersenyum kecil menyadari gadis-gadis menahan napas melihat enam bilah otot perut Om.

Nah karena di bulan Ramadan taman itu dipenuhi orang ngabuburit, mungkin sebaiknya Om gunakan kaos berlengan dan bercelana trainning panjang saat jogging sore. Tahan dulu semangat show-off otot perut hasil dopping protein khusus dan kerja keras Om membangun otot meski mengorbankan otak.

Tidakkah sebenarnya ini urusan mudah?

Om-Tante merasa sedikit repot? Merasa kesenangan sedikit berkurang? Ya itulah toleransi. Itulah tepa salira. Tanpa ada sedikit pengorbanan, bukan toleransi namanya, tetapi masa bodoh.

Jadi bagaimana? Ini sekedar saran, kok.

Baca yang lain di SERI EDISI RAMADAN TILARIA PADIKA

***

Tilaria Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun