Di antara banyak model subkultur terkait tradisi hari raya di Indonesia, Â saya belum pernah melihat langsung Sahur on the Road ini. Bahkan mendengarnya juga baru sekarang. Sepintas saya dengar itu aktivitas bagi-bagi makanan sahur di jalanan dan aktivitas itu dilarang sejumlah pemerintah daerah. Heh! Bagaimana bisa hal baik dilarang?
Sejauh penelusuran saya, belum ada artikel yang menceritakan detil sejarah Sahur on the Road. Tetapi laman tertua yang memberitakan kegiatan dengan nama Sahur on the Road adalah laman berita ""Sahur on The Road" Para Artis" di liputan6.com yang bertitimangsa 19 Nov 2003.
Disebutkan, tayangan infotainment Hot Shot menggelar "Sahur on The Road" bersama sejumlah artis. Mereka berkonvoi kendaraan dan berhenti di bawah Jembatan Stasiun Kereta Juanda, Jakarta Pusat untuk membagikan santap sahur kepada warga tak mampu di sana. Kemudian rombongan mengunjungi panti asuhan, juga untuk membagikan santap sahur dan pakaian bekas layak pakai.
Sepertinya memang acara tv  Hot Shot ini yang mempopulerkan istilah "Sahur on the Road." Bahkan mungkin bukan sekedar istilah, acara tv itu pula yang mempelopori budaya baru ini: membagikan makanan sahur kepada orang-orang di jalan. Yang lazim aksi bagi-bagi makanan saat Ramadan dilakukan saat berbuka puasa. Sementara saat sahur dahulu orang hanya berkeliling kampung untuk membangunkan warga.
Betapa hebat peran artis dan televisi dalam mempromosikan kebiasaan baru, menjadi tren lalu budaya. Dalam waktu satu dekade, Sahur on The Road telah diambil alih, menjadi komponen subkultur komunitas-komunitas anak muda, menggabungkannya dengan budaya konvoi motor, kebut-kebutan, dan aksi mural di dinding fasum yang sudah lebih dahulu menjadi bagian dari identitas mereka.
Berbagi tentu baik adanya. Apalagi jika kebiasaan itu dijalani oleh komunitas anak muda.
Tetapi menjadi lain ceritanya ketika SOTR adalah kombinasi dua kebudayaan. Sahur dan berbagi yang indah dan religius dari kebudayaan dominan bertemu balapan liar dan konvoi motor yang menyeramkan dari  subkultur komunitas anak muda, terutama geng motor, suporter klub bola, dan fansclub artis.
Pencampuran ini menghasilkan sesatu yang baru: solidaritas dan friksi sekaligus. Saling berbagi yang berlanjut tawuran. Orang-orang mati. Ditikam, dibacok, celaka.
Ketika Ahok-Jarot melarang hal ini pada Ramadan lalu, banyak pihak menjadikannya komoditi politik. "Ahok-Jarok melakukannya karena anti-Islam," teriak politisi lawan. Tahun ini, Wagub DKI Sandiaga Uno(1) yang diharapkan membudayakan SOTR justru juga menentangnya. Sejumlah Pemda seperti Pemkot Bogor sudah dari tahun-tahun sebelumnya melarang pelaksanaan SOTR.(2)
Baiknya larang nggak sih?
Pelarangan sering melahirkan resistensi. Apalagi anak-anak muda itu akan mendapatkan dukungan sejumlah politisi.
Politisi zaman now akan mendukung apapun selama itu bisa menghasilkan suara. Untunglah ternak tidak punya hak suara. Jika ya, sudah tentu ada yang berteriak-teriak menuntut kambing, sapi, ayam jangan dikandangkan demi meraih simpati hewan-hewan itu. Ya begitulah.
Jika aparat bertindak tegas, para remaja mengubah taktik menjadi gerilya. Aksi sembunyi-sembunyi SOTR. Akan lebih gawat lagi sebab SOTR berubah menjadi kejar-kejaran dengan aparat polisi. Kejar-kejaran dengan polisi demi hal "mulia" memberi makan orang miskin tentu godaan tersendiri. Akan lebih banyak aksi dan aktor militan muncul, menjadi hero seperti Robin Hood.
Para pemuda dan kebudayaan baru itu seperti air saja. Jika dibendung ia akan mencari jalan baru  yang berisiko besar pada rusaknya tanggul. Memperkuat tanggul tidak akan menghentikan tekanan air. Jalan terbaik adalah kanalisasi.
Alih-alih melarang, Pemda sebaiknya mengambilalih aktivitas itu, mengorganisasikannya. Misalnya dengan membuat peraturan areal, waktu, dan administrasi kegiatan.
Contohnya SOTR dilaksanakan per kecamatan. Komunitas hanya boleh bagi-bagi makanan sahur di titik-titik yang telah ditentukan sesuai wilayah kecamatan tempat keberadaan komunitas. Hari pelaksanaan juga dibatasi, misalnya tiap Selasa dan Jumat. Komunitas yang hendak melaksanakan terlebih dahulu mencatatkan agendanya, entah ke kepolisian atau kecamatan.
Peraturan-peraturan yang telah umum sebaiknya ditegakkan tanpa kecuali. Misalnya kewajiban berhelm dan larangan knalpot racing.
Berbeda dengan air, masyarakat biasanya tidak langsung menuruti kanal baru. Karena itu dibutuhkan pengkondisian. Misalnya pemda mendorong komunitas-komunitas positif untuk berpartisipasi. Melibatkan idola anak-anak muda itu, seperti grup band Slank, musisi Iwan Fals dan Roma Irama tampaknya akan bermanfaat.
Belajar dari Kupang
Dahulu di Kota Kupang perayaan tahun baru diperingati anak muda---dan orang tua lupa umur---dengan konvoi kendaraan, terutama motor. Sepanjang November-Desember, telinga kita pekak oleh raungan motor yang dipersiapkan untuk show-off 31 Des - 1 Januari.
Di penghujung 31 Desember, seluruh isi kota seakan tumpah ruah di jalan, memboroskan bensin dengan mudahnya. Peringatan kehidupan dirayakan dengan menggoda kematian. Kebut-kebutan. Koran 2 januari selalu berisi berita kematian oleh lakalantas.
Awalnya polisi menghadapi itu dengan aksi-aksi tilang. Yang tak gunakan helm ditangkap, motornya ditahan. Tidak mempan. Orang merasa kejar-kejaran dengan polisi adalah bonus perayaan tahun baru.
Polisi mencoba cara baru. Preventif. Bulan September-Desember razia kendaraan digencarkan. Tilang untuk jenis pelanggaran apapun. Motor-motor yang ditahan baru akan dibebaskan setelah tahun baru. Tidak mempan juga.
Beberapa tahun terakhir, Pemprov NTT berinisiatif mengadakan pesta kembang api di halaman rumah jabatan gubernur. Masyarakat mendapatkan hiburan baru. Publik terbelah. Antara yang ingin bertahan dengan pesta kuno kebut-kebutan dan berisiko atau ikut serta dalam acara kembang api.
Setelah beberapa tahun pendekatan pesta kembang api sepertinya mulai berhasil.
Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika
***
Tilaria Padika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H