Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karakter Rezim dan Tantangan Serikat Buruh

26 Mei 2018   13:00 Diperbarui: 26 Mei 2018   16:37 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesimpulan Hurd ini ternyata berulang lagi dalam penelitian Nelson beberapa dekade kemudian, yaitu bahwa baik rezim demokratis, pun rezim otoriter memanfaatkan perundang-undangan untuk melegitimasi tindakannya, memberi konsesi sekaligus membatasi ruang gerak buruh.

Satu catatan penting soal rezim demokratik dan otoriter adalah karakter rezim ini tidak selalu melekat pada fraksi borjuasi yang berkuasa. Rezim yang pada awalnya demokratis dapat berubah menjadi otoriter. Perubahan karakter ini bergantung kepada kondisi kapitalisme. Ketika kapitalisme dalam kondisi krisis dan membutuhkan pemulihan, dan pemulihan itu butuh stabilitas, rezim demokratis dapat berubah menjadi otoriter.

Cerdik pandai terkemuka masa kini yang sering membahas ini adalah  William I. Robinson, profesor yang rajin menulis untuk  Aljazeera. Salah satu ulasan populer Robinson adalah "Crisis of Humanity: Global Capitalism Breeds 21st Century Fascism" (truth.com). Menurut Robinson, wajah fasisme abad 21 berupa militerisme, maskulinisasi ekstrim, homofobia, rasisme, dan mobilisasi rasisme melawan kelompok-kelompok yang dijadikan kambing hitam atas krisis ekonomi adalah modalitas kontrol sosial negara untuk mengatasi dampak krisis ekonomi. Saya pernah mengulas ini di suatu media daring ketika terkejut membaca pernyataan Moeldoko yang dimuat Kompas ("Moeldoko: Investasi Terancam, TNI Turun Tangan", 4/9/2013).

Tentang pergeseran karakter negara (perubahan rezim) antara demokratis dan otoriter juga telah lama diulas cerdik pandai besar seperti  Stuart Hall (Policing the Crisis, 1979) atau David Harvey yang bukunya telah lama terbit dalam bahasa Indonesia, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (2009).

***

Sejak 1997, rezim di Indonesia adalah demokratis. Pendekatan terhadap gerakan buruh juga demokratis pakta sosial. Hal itu tercermin dalam paket UU Ketenagakerjaan yang dibahas dalam artikel sebelumnya, yang berisi trade-off antara pembatasan dan pemberian ruang kepada serikat buruh, antara konsesi dan tuntutan kepatuhan terhadap ruang yang diberikan.

Kondisi ini menguntungkan serikat-serikat buruh moderat yang sedikit beralih seolah-olah radikal dengan menerima kembali metode perjuangan aksi massa namun tetap mempertahankan penyambutan mereka terhadap neo-corporatism.

Serikat-serikat besar bekas serikat buruh kuning itu mendapat tempat terhormat dalam Dewan Pengupahan dan tuntutan-tuntutan mereka (seperti upah minimum sektoral) mudah diakomodir. Para pemimpinnya sering diberikan panggung bersama elit. Itu memberikan kepercayaan kepada buruh bahwa perjuangan melalui serikat-serikat seperti ini lebih mudah meraih kemenangan.

Sementara serikat-serikat buruh independen yang radikal dan sempat menuai massa besar satu dekade setelah reformasi 1998 kembali kehilangan pengaruh. Itu tampak dalam kekuatan mobilisasi  dalam aksi-aksi 1 May kian kecil dibandingkan mobilisasi bekas serikat buruh kuning.

Perwakilan mereka sering ditolak dalam pertemuan bipartit di tingkat pabrik, juga dipertanyakan legalitasnya dalam tripartit. Ruang gerak organisasi mereka dibatasi. Inilah mengapa ada klausul mekanisme penyelesaian konflik antara serikat buruh dalam UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam risetnya, Nelson memang menemukan salah satu taktik rezim adalah memecah belah serikat buruh dan memberi dukungan kepada serikat buruh yang bersedia menerima neo-corporatism.

Sampai ke bagian ini, kita belum dapat bicara banyak tentang bagaimana seharusnya serikat buruh, terutama serikat buruh independen mengubah strategi dan taktik perjuangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun