Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sajadah untuk 3 Om Ismail

8 Juni 2018   04:00 Diperbarui: 19 Juni 2018   05:45 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kita terkejut sendiri, pemberian yang kita pandang bukan apa-apa ternyata terbitkan suka cita besar pada penerimanya.

Ramadan 2013 saya masih aktif dalam politik parlementer. Jabatan saya di parpol lumayan tinggi, Wakil Ketua I Dewan Pengurus tingkat provinsi sekaligus ketua Badan Pemenangan Pemilu. Itu di sebuah partai berbasis massa Islam yang selama ini menjadi penjaga nilai-nilai kebhinekaan di Nusantara.

Ketika itu saya masih percaya bahwa partai-partai besar, asalkan bukan bagian dari Orde Baru, bukan milik konglomerat, bukan  fundamentalis agama, dan bukan didirikan mantan jenderal dapat menjadi kendaraan politik yang baik.

Saat bergabung saya minta empat syarat. Pertama, komposisi caleg DPRD provinsi nanti harus merupakan keterwakilan dari unsur-unsur akademisi, pemuda, masyarakat adat, buruh, petani, dan tentu saja para politisi yang memang sudah duluan ada di dalam partai.

Kedua, partai tidak membebani biaya mahar untuk menjadi caleg agar perwakilan unsur-unsur masyarakat yang kere bisa juga jadi caleg seperti syarat pertama. Untuk itu para caleg haruslah orang-orang yang berkeringat politik dalam membesarkan partai, bukan mereka yang mendadak politisi saat pemilu tiba.

Ketiga, kader partai yang duduk di DPRD nanti harus rutin melaporkan perkembangan pembahasan kebijakan di DPRD dan memperjuangkan posisi politik partai di DPRD, dalam arti kebijakan-kebijakan telah dibahas kolektif dalam rapat partai. Keempat, para anggota DPRD itu dibebankan jadwal piket untuk menerima pengaduan rakyat di kantor partai. Dengan cara demikian, diharapkan partai dapat sunguh-sungguh menjadi alat perjuangan rakyat, setidaknya alat politik bagi konstituennya.

Syarat itu dipenuhi, atau lebih tepat dijanjikan untuk dipenuhi. Maka saya bersukacita menjalankan tugas sebagai Ketua Bapilu dengan sungguh-sungguh, dibantu sejumlah aktivis muda yang kemudian menjadi mayoritas dalam kepengurusan.  Hasilnya, kursi partai di DPRD NTT naik dari sebelumnya hanya 1 kursi menjadi 5 kursi. Pas untuk menempatkan orang di semua komisi di DPRD.

Kini saya masih berpolitik, tetapi tidak parlementer, tidak berada di dalam partai-partai yang jadi peserta pemilu. Tidak santun jika saya ceritakan sebab-sebabnya. Lagipula ini cerita tentang hadiah Idul Fitri, bukan tentang parpol.

Jadi saya bersungguh-sungguh ketika mengaku sebagai politisi dalam artikel "Elit Politik Merusak Bahasa."

Biasanya menjelang Idul Fitri, DPP mengirimkan barang-barang untuk dibagikan kepada pengurus yang dapat digunakan sebagai hadiah Idul Fitri untuk tokoh-tokoh masyarakat yang diharapkan dapat menjadi pendukung partai.

Ada banyak ragam barang yang dikirimkan. Yang paling mahal adalah sajadah yang lumayan tebal dan lembut, terasa mewah. Memang bukan kemewahan ideal sebab hanya berwarna serupa bendera partai dengan cetakan timbul lambang dan nama partai. Terima saja, tak ada makan siang gratis.

Sebagai ketua Bapilu, saya memiliki hak untuk mengaturnya. Karena itu saya hanya membagikannya kepada para caleg miskin yang mengenal tokoh muslim miskin di dapilnya. Dengan begitu saya harap sajadah-sajadah itu  sampai ke tangan yang tepat dan berbuah suara saat Pemilu nanti.

Target subjektif saya---yang memang agak curang dan berkepentingan diri---ada cukup sajadah yang tersisa untuk saya bagikan kepada orang-orang yang saya kenal, terutama kalangan keluarga. Heuheuheu.

Maka setelah dibagikan kepada pengurus, tersisa tiga sajadah di tangan saya. Yang tersisa pun yang paling mahal. Kata teman yang membawanya dari Jakarta,  sajadah-sajadah itu kelas premium yang harganya 250 ribu. Hanya empat yang begitu. Yang lain sajadah biasa yang tidak sampai Rp 50 ribu.

Tiga dari empat sajadah termahal itulah yang akan saya bagikan kepada keluarga di Manggarai sana, terutama di Manggarai Timur.

Di Manggarai Timur banyak keluarga nenek dari pihak ibu yang muslim. Paman ibu separuh yang Katolik, separuh yang Islam. Demi toleransi, suku genealogis ibu berpantang makan daging babi, entah Islam, entah Katolik. Jadi semacam pantangan keluarga.

Semua paman saya (saudara laki-laki ibu) dan mama kecil-mama tua (saudara perempuan ibu) tidak satupun makan daging babi meski semuanya Katolik. Sampai di generasi kami, hanya tinggal separuh saudara-saudara sepupu yang masih berpantang babi. Saya sendiri sangat rakus makan daging babi, apalagi jika diolah sebagai se'i, daging asap khas Timor yang masyur itu.

Bertanyalah saya kepada Ibunda, kerabat jauhnya yang Muslim di Manggarai sana dan tergolong tokoh. Ibu lanjut bertanya kepada paman saya. Setelah disaring berdasarkan ketokohan dan kebutuhan akan sajadah, muncullah tiga nama: Ismail, Ismail, dan Ismail.

"Mengapa nama mereka serupa saja?" Penasaran saya bertanya kepada ibunda. Rupanya beliau pun tidak tahu dan sudah lama heran akan soal ini. Mengapa semua ponakan jauh ibunya (nenek saya) namanya begitu-begitu saja.

Tetapi sudahlah, tak jadi soal. Dua Om Ismail adalah imam masjid, sementara yang seorang lagi tokoh di desanya.

Melalui mahasiswa yang pulang berlibur, yang bersedia mengantarkan karena berdekatan kampung dengan alamat tujuan, berlayarlah tiga sajadah itu. Satu kepada Om Ismail, satu kepada Om Ismail, dan satunya lagi kepada Om Ismail.

Hadiah lebaran Idul Fitri itu antara tulus kurang tulus. Tulus sebab saya benar-benar hendak memberikannya kepada mereka. Saya tak menyesal karena tiada sesuatu pun yang berkurang dari saya. Toh saya tak mungkin menyimpannya tak terpakai.

Tetapi itu sekaligus kurang tulus sebab berharap imbalan, yaitu suara mereka dan suara orang-orang dalam pengaruh mereka dalam Pemilu nantinya. Tentu saja saya tidak menyampaikan begitu. Hanya harapan di dalam hati. Tetapi dengan cetakan timbul lambang dan nama partai di sana, saya berharap kelak begitu hasilnya.

Itu berarti pemberian saya bersifat do ut des kata orang Romawi Kuno. Do ut des adalah pemberian yang bersifat komutatif. Anda memberi sesuatu agar menerima sesuatu dari orang yang sama. Kata orang Manggarai: dodo.

Do ut des dan dodo. Heuheu, sekali lagi  orang Romawi meniru orang Manggarai. Seperti Joak jadi iocus yang kemudian jadi hoax, begitu pula dodo menjadi do ut des. Paragraf ini sekedar joak, Om-Tante. Lihat pengertiannya di artikel "Tuan Martinus Dilarang Bicara."

Setelah sebulan, kabar menyenangkan tiba. Saya mendapat telepon dari anak salah satu Om Ismail.

Saudara jauh saya itu berterima kasih karena selama ini ayahnya salat tanpa alas sajadah khusus. Kata dia sajadah memang tidak wajib. Yang terpenting masjid itu bersih.

Tetapi dengan sajadah pemberian saya, Om Ismail merasa lebih spesial sebagai imam masjid sebab hanya segelintir umat di kampungnya yang memiliki sajadah. Apalagi sajadah kiriman saya tebal dan indah, lebih mahal dari kepunyaan orang-orang kaya di kampung. Mereka berpikir sajadah pemberian saya itu jutaan harganya.

Saya tak tahu persis, di antara dua Om Ismail yang imam masjid, anak Om Ismail yang manakah yang menelepon.

Menerima ucapan terima kasih seperti itu saya merasa malu sendiri. Betapa tanpa pengorbanan apa-apa, memberikan sesuatu yang bukan saya beli sendiri bisa jadi sangat berarti bagi orang lain.

Begitulah Om-Tante. Jangan berharap ketulusan dari politisi. Satu-satunya kalangan politisi yang saya yakin tulus memberi kepada rakyat adalah politisi ektra-parlementer generasi era 80an-awal 90an yang meletakkan fondasi bagi penggulingan Soeharto dulu. Materi, waktu, masa depan, bahkan nyawa mereka berikan bagi rakyat, bagi kehidupan bangsa yang lebih baik.

Entahlah setelah mereka kini ada dalam lingkaran kekuasaan atau dalam kepengurusan pusat partai-partai di parlemen. Saya tidak tahu apakah mereka masih setulus dulu atau tidak. Melihat polarisasi yang kaku berkubu ke dua kutup Jokowi dan Prabowo, saya kurang yakin ada kemerdekaan berpolitik di sana, kemerdekaan yang jadi dasar ketulusan.

Tabik.

Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika

[@tilariapadika]

To share is to care.
To share is to care.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun