Perbedaan klaim masjid tertua ini berhubungan pula dengan klaim sejarah penyebaran Islam di Pulau Timor, antara versi Air Mata-sentris dan Kampung Solor-sentris.
Kisah yang berpusat pada Kelurahan Air Mata mengklaim bahwa imam pertama kaum muslim, sekaligus penyebar Islam pertama di Pulau Timor adalah Sya'ban bin Sanga yang datang bersama Sultan Badarruddin dari Kerajaan Menanga. Rombongan Kesultanan Menanga itu dipindahkan Belanda dari Pulau Solor.
Di dalam komunitas muslim perdana itu, terjadi pembagian kekuasaan antara Sya'ban bin Sanga  sebagai imam dan bertempat kedudukan di Kampung Air Mata dan Sultan Badarruddin yang mengatur pemerintahan secara menyeluruh dan berkedudukan di Kampung Solor. Kampung Air Mata lalu disebut Kampung Imam sementara Kampung Solor disebut Kampung Raja.
Sementara menurut versi Kampung Solor-sentris, Atu Laganama adalah imam pertama Muslim di Pulau Timor, sebagaimana masjid pertama adalah masjid di Kampung Solor dan pemukiman pertama orang Solor di Kupang adalah Kampung Solor.
Ketika Atu Laganama wafat pada 1808, ia diganti Sengaji Susang dari Lamakera, Solor.
Berbagai riset sejarah memang lebih mendukung versi Kampung Solor-sentris. Contohnya laporan Barnes (1995) yang mengutip Leyn menyebutkan bahwa Atu Laganama berasal dari Ternate, memimpin sejumlah pertempuran melawan Portugis, masuk ke Solor dan kemudian pindah dan menetap di Kupang.
Demikian pula tentang kedatangan Sengaji Susang dari Kerajaan Lamakera, Solor ke Kupang, terdapat di dalam dokumen Belanda yang digunakan sejarahwan Belanda Hans Hagerdal dalam buku-buku dan papernya tentang sejarah Kota Kupang.
Kampung Air Mata adalah pengembangan pemukiman orang Solor dari Kampung Solor dan pendatang muslim yang masuk kemudian. Pemimpin Kampung Solor pertama adalah Imam Sanga. Setelah meninggal Imam Sanga diganti oleh puteranya, Sya'ban bin Sanga.
Perbedaan klaim ini juga tampaknya berakar jauh ke sejarah masuknya Islam ke Solor.
Menurut beberapa sumber, penyebaran agama Islam di Solor dilakukan pertama kali pada abad ke-15 oleh pedagang dari Palembang bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga.
Menurut versi itu, Syahbudin bin Salman menikahi anak raja Lamakera dan dihadiahi wilayah di perbatasan Kerajaan Lamakera dan Lohayong yang kemudian menjadi Desa Menanga.