Masjid  Agung Al Baitul Qadim atau lebih terkenal sebagai Masjid Air Mata dianggap sebagai masjid tertua di Pulau Timor. Masjid ini disebut Masjid Air Mata bukan karena ada hubungannya dengan kisah pilu yang menerbitkan isak tangis. Air mata adalah nama kelurahan di Kota Kupang, salah satu pemukiman awal penduduk muslim. Usia masjid Air Mata sudah lebih dari 200 tahun. Apakah benar Al Baitul Qadim masjid tertua? Bagaimanakah sejarahnya? Apa saja masjid tertua di Kupang dan Pulau Timor? Mari.
Sebenarnya menurut sejumlah dokumen, seperti buku Sejarah Sosial di Daerah Nusa Tenggara Timur yang diterbitkan Depdikbud pada 1983, sebelum masjid di Air Mata, 40an tahun lebih dini telah berdiri masjid di Kampung Solor, pemukiman pertama penduduk Muslim di Kota Kupang. Masjid ini didirikan sekitar 1770an oleh Atu Laganama dan  Abdulrachman.
Meski datang dari Kerajaan Lamakera, Solor, aslinya Atu Laganama adalah orang Ternate yang menyebarkan Islam ke Solor. Dalam beberapa laporan penelitian, Atu Laganama juga disebut dengan nama Sultan Syarif. Sementara Abdulrachman adalah pedagang asal Benggala, India.
Mungkin karena  pada  1912 telah didirikan masjid baru di Kampung Solor, di sampung Hotel Abdul Rachman, masjid perdana yang didirikan Atu Laganama  itu ditinggalkan dan bangunannya kini tidak tersisa.
Masjid Al Baitul Qadim dibangun oleh Syahban bin Sanga Kala baru pada 1806 (peletakan batu pertama) dan rampung pada 1812.Â
Bangunan Masjid Al Baitul Qadim yang berdiri saat ini sudah merupakan hasil pemugaran pada tahun 1984oleh Imam Masjid turunan ketujuh, Birando bin Tahir.
Ada pula tutur sejarah versi media daring yang menyebutkan jika Masjid Al Baitul Qadim dibangun oleh Syahban bin Sanga Kala bersama Kiai Arsyad, tokoh pergerakan Banten yang dibuang Belanda ke Kupang.
Tetapi versi ini tidak begitu valid. Jika kita bandingkan dengan data sejarah, pergerakan banten yang terkenal sebagai Geger Cilegon itu baru terjadi pada 1886.
Geger Cilegon adalah pemberontakan yang dipimpin oleh  Ki Wasyid. Salah satu tokoh berpengaruh di balik pemberontakan itu adalah Mas Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani, murid Syeikh Nawawi Al-Bantani. Tetapi Arsyad Thawil dibuang dan meninggal di Manado, bukan di Kupang. Mungkin ada nama Arsyad lain sebab benar bahwa ada sejumlah pejuang Geger Cilegon yang dibuang pula ke Kupang.
Klaim Sejarah Penyebaran Islam Pertama
Perbedaan klaim masjid tertua ini berhubungan pula dengan klaim sejarah penyebaran Islam di Pulau Timor, antara versi Air Mata-sentris dan Kampung Solor-sentris.
Kisah yang berpusat pada Kelurahan Air Mata mengklaim bahwa imam pertama kaum muslim, sekaligus penyebar Islam pertama di Pulau Timor adalah Sya'ban bin Sanga yang datang bersama Sultan Badarruddin dari Kerajaan Menanga. Rombongan Kesultanan Menanga itu dipindahkan Belanda dari Pulau Solor.
Di dalam komunitas muslim perdana itu, terjadi pembagian kekuasaan antara Sya'ban bin Sanga  sebagai imam dan bertempat kedudukan di Kampung Air Mata dan Sultan Badarruddin yang mengatur pemerintahan secara menyeluruh dan berkedudukan di Kampung Solor. Kampung Air Mata lalu disebut Kampung Imam sementara Kampung Solor disebut Kampung Raja.
Sementara menurut versi Kampung Solor-sentris, Atu Laganama adalah imam pertama Muslim di Pulau Timor, sebagaimana masjid pertama adalah masjid di Kampung Solor dan pemukiman pertama orang Solor di Kupang adalah Kampung Solor.
Ketika Atu Laganama wafat pada 1808, ia diganti Sengaji Susang dari Lamakera, Solor.
Berbagai riset sejarah memang lebih mendukung versi Kampung Solor-sentris. Contohnya laporan Barnes (1995) yang mengutip Leyn menyebutkan bahwa Atu Laganama berasal dari Ternate, memimpin sejumlah pertempuran melawan Portugis, masuk ke Solor dan kemudian pindah dan menetap di Kupang.
Demikian pula tentang kedatangan Sengaji Susang dari Kerajaan Lamakera, Solor ke Kupang, terdapat di dalam dokumen Belanda yang digunakan sejarahwan Belanda Hans Hagerdal dalam buku-buku dan papernya tentang sejarah Kota Kupang.
Kampung Air Mata adalah pengembangan pemukiman orang Solor dari Kampung Solor dan pendatang muslim yang masuk kemudian. Pemimpin Kampung Solor pertama adalah Imam Sanga. Setelah meninggal Imam Sanga diganti oleh puteranya, Sya'ban bin Sanga.
Perbedaan klaim ini juga tampaknya berakar jauh ke sejarah masuknya Islam ke Solor.
Menurut beberapa sumber, penyebaran agama Islam di Solor dilakukan pertama kali pada abad ke-15 oleh pedagang dari Palembang bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga.
Menurut versi itu, Syahbudin bin Salman menikahi anak raja Lamakera dan dihadiahi wilayah di perbatasan Kerajaan Lamakera dan Lohayong yang kemudian menjadi Desa Menanga.
Sumber-sumber yang menggunakan versi ini biasanya mengacu kepada buku atau keterangan Munandjar Widiyatmika, dosen Undana yang menulis sejarah Islam di NTT.
Versi lain adalah yang mengacu kepada penelitian Syarifudding Gomang, Sosiolog Universitas Muhammadyah Kupang.
Menurut Gomang, penyebaran Islam ke Solor dilakukan oleh orang-orang kerajaan Ternate.Â
Sultan Baabullah mengirimkan keponakannya, Kaichili Ulan untuk membantu orang Solor mengusir Portugis. Salah satu di antara pemimpin pasukan Ternate yang terkenal adalah Atu Laganama yang dikenal juga dengan nama Sultan Syarif Sahar.
Sultan Syarif Sahar kemudian pindah ke Kupang, mengikuti VOC yang memindahkan pusat kedudukannya ke Kupang pada 1657.
Di manakah di antara dua versi ini yang benar? Saya akan memilih versi Gomang berdasarkan saya pada penelusuran  konteks sejarah yang lebih luas, yaitu sejarah Ternate dan dokumen-dokumen Belanda.
Setelah kemunduran Majapahit, Ternate adalah kerajaan besar di kawasan Timur Indonesia. Pada puncak kejayaannya, masa Sultan Baabullah, pengaruh Ternate meliputi wilayah Seram di dekat Papua hingga Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Mindanao dan Kepulauan Mashall di Filipina. Karena itu Baabullah disebut Raja 72 Pulau.
Pengaruh yang besar ini Baabullah dapatkan setelah mengusir Portugis dengan menaklukkan benteng-benteng: Tolucco, Santo Lucia, Santo Pedro dan terakhir Sao Paulo. Baabullah tidak berperang sendiri. Ia didukung Belanda.Â
Kebencian Baabullah kepada Portugis disebabkan oleh pembunuhan terhadap ayahnya, Sultan Hairun. Baabullah bersumpah untuk mengusir Portugis dari seluruh tempat kedudukannya di Nusantara.
Di Solor, Portugis telah membangun Benteng Lohayong sejak 1562. Kejatuhan Benteng Lohayong ke tangan Belanda yang bersekutu dengan orang Solor dan Ternate terjadi pada April 1613.
Menurut kisah masyarakat lokal, termasuk yang sebenarnya ditemukan pula oleh Widiyatmika dalam studinya, Raja Lohayong adalah seorang ratu beragama Islam bernama Nyai Chili.
Yang sering tidak diketahui publik---termasuk oleh para peneliti sejarah kita ini---adalah bahwa Nyai Chili sebenarnya bukan nama orang, tetapi julukan yang seharusnya ditulis Nyaicili. Ini adalah sapaan bagi putri raja dalam Kesultanan Ternate.
Sekarang mari kita periksa dokumen surat-menyurat diplomatik Belanda dengan Solor. Ada 327 eksemplar surat yang bertitimangsa 30 September 1636 hingga 7 Februari 1809.
Surat yang tertua, 30 September 1636 menyebutkan penguasa setempat adalah Kaicili Pertawi. Kaicili adalah sapaan bagi pangeran dalam Kesultanan Ternate.
Surat selanjutnya, bertitimangsa 7 Agustus 1657 Â dan 15 Oktober 1663 menyebutkan penguasa Solor atas nama Nyai Cili. Dalam tiga surat berikutnya, hingga 1967 disebutkan penguasa Solor adalah Nyai Cili Muda. Kekuasaan Nyai Cili Muda atas Lohayong masih disebut dalam surat-surat hingga 14 Mei 1686.
Raja Lamakera, Sengaji Dasi baru mulai disebut dalam surat 11 September 1664 .Sementara Orang Kaya Menanga baru disebutkan pada surat 5 November 1770. Â Dalam surat tersebut, Orang Kaya Menanga selalu disebutkan bersama dengan Sultan Parsiku. Dugaan saya, julukan Sultan Parsiku adalah pelafalan Belanda nama Syahbudin bin Salman Al Faris.
Sebagai pedagang, Syahbudin memang lebih cocok disebut Orang Kaya, bukan sengaji.
Dengan demikian, pengaruh Syahbudin baru ada 100 tahun kemudian setelah kekuasaan pangeran dan Putri Ternate di Solor. Maka lebih masuk akal jika penyebar Islam pertama di Solor adalah orang Ternate melalui kerajaan Lohayong dibandingkan pedagang Palembang melalui kerajaan Lamakera.
Perhatikan pula bahwa Raja Lohayong pada masa awal tidak disebut sebagai sengaji. Ini bisa jadi menunjukkan superioritas keturuann Ternate. Julukan sengaji adalah peninggalan Gajah Mata ketika meluaskan pengaruh Majapahit ke negara-negara mitra di kawasan Timur Nusantara. Julukan ini diperuntukkan bagi perwakilan Majapahit di kerajaan-kerajaan itu, semacam duta besar.
Saat ini ada upaya asal njeplak bahwa istilah sengaji berasal dari 'sang haji' yang diperuntukan bagi ahli agama. Ini adalah salah besar. Bahwa sengaji diperkenalkan Majapahit terdapat dalam naskah kuno warisan Bima, Bo Sangaji Kai.
Ketika Majapahit runtuh dan Kesultanan Ternate berjaya di kawasan Timur, gelar ini masih dipakai untuk bangsawan lokal yang berkuasa di wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruh Ternate.
Demikian pula dalam hal penyebaran Islam pertama di Kupang, kedatangan Atu Laganama dan Sengaji Susang yang menggantikannya disebutkan di dalam dokumen-dokumen Belanda (Baca misalnya Hans Hagerdal,"White and Dark Stranger Kings: Kupang in the Early Colonial Era"). Begitu pula riset peneliti Indonesia yang lebih kontemporer seperti thesis Stella Aleida Hutagalung, "Being Muslim in a Christian Town: Variety, Practices, and Renewal," Juli 2015.
Masjid Tertua Lainnya
Masjid tertua kedua (yang masih berdiri maksudnya) di Kota Kupang adalah masjid Al-Ikhlas.
Masjid ini terletak di Bonipoi, sebuah kelurahan yang terletak di antara Kelurahan Air Mata dan Kelurahan Kampung Solor.
Masjid Al-Ikhlas didirikan oleh Dipati Amir bin Bahren dan Panglima Hamzah (Cing) bin Bahren. Keduanya adalah pemimpin pemberontakan rakyat Pulau Bangka melawan Belanda. Setelah ditangkap, Dipati Amir dan Panglima Bahren dibuang ke Kupang pada 28 Februari 1851.
Informasi titimangsa pendirian masjid ini bervariasi, antara antara 1851, 1860, dan 1885. Saya lebih percaya pada 1851-1860 sebab pada 1885, Dipati Amir Bahren meninggal.
Masjid baru ini bernama Masjid Al-Fatah dan hingga kini masih berdiri. Artinya usianya telah lebih dari 100 tahun. Tentu banyak kenangan sejarah umat Islam di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HBaca yang lain di SERI EDISI RAMADAN TILARIA PADIKA