Mei, tanggal 13 adalah momentum terpenting di dalam karir politik Mahathir Mohammad. Tidak. Kita tidak bicara Mei 2018. Kita bicara tentang Mei 1969, momentum yang paling menentukan dalam kehidupan politik Mahathir dan mengantarnya menjadi politisi paling berpengaruh dalam sejarah Malaysia, bahkan melampaui PM pertama Malaysia Tunku Abdul Rahman yang dahulu berkonfrontasi dengan Soekarno.
Mahathir adalah politisi paling senior di Asia. Ia mulai aktif berpolitik sejak 1954 melalui keterlibatan di dalam kampanye memprotes upaya Inggris membentuk Malayan Union yang bikin marah etnis Melayu  sebab kebijakan itu melucuti sebagian kekuasaan raja-raja Melayu.Â
Mahathir kemudian bergabung ke dalam UMNO dan menjadi Ketua Cabang Kedah pada 1959. Pada 1964, Mahathir menjadi anggota parlemen dari wilayah Kota Setar Selatan. Posisinya di DPR hanya bertahan satu periode sebab kalah pada pemilu berikutnya (1969) oleh calon dari PAS yang didukung etnis Tionghoa.
Sejarah Kelam 13 Mei 1969
Pemilu Malaysia 1969 adalah pemilu dengan sentimen rasis sangat tinggi di Malaysia. Partai-partai yang bertarung menjadikan isu-isu seperti bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan hak kewarganegaraan etnis non-Melayu sebagai tema kampanye.
Pemilu Malaysia 1969 adalah babak lanjut dari ketegangan pada masa sebelumnya oleh ketidakpuasan para pihak terhadap trade-off antara pemberian hak kewarganegaraan kepada orang asing di satu sisi dengan pembatalan Malayan Union; pengembalian kedaulatan kerajaan-kerajaan Melayu; bahasa Melayu sebagai bahasa resmi (artikel 152); dan keistimewaan warga etnis melayu (pasal 153) di sisi lain.
Jalan keluar yang berat sebelah ke kubu Melayu melahirkan perlawanan dari kaum non-Melayu. Salah satu tokoh utama dari perlawanan itu adalah Lee Kuan Yew bersama Partai Aksi Rakyat (People's Action Party, PAP). Perlawanan ini berujung berdirinya Singapura sebagai negara sendiri.
Tetapi problem belum selesai. Selepas PAP, penolakan terhadap pasal 153 dilanjutkan oleh Partai Aksi Demokrasi (DAP). Perdebatan tentang isu-isu rasial terus berlangsung hingga Pemilu 1969.
Pemilu 1969 menggerus dominasi partai penguasa---orang-orang Melayu---di parlemen yang merupakan aliansi UMNO, MCA, dan MIC dalam Partai Perikatan. Jumlah kursi mereka turun dari 89 menjadi sisa 66. Sebaliknya partai-partai oposisi yang didukung warga negara non-Melayu: DAP, Partai Gerakan, PPP, dan PAS meraih total 37 kursi.
Bagi kalangan oposisi, peroleh 37 kursi adalah kemenangan besar. Mereka merayakannya dengan pawai massa besar-besaran pada 10 Mei. Dalam euforia kemenangan, massa peserta pawai melontarkan slogan-slogan ejekan kepada warga etnis Melayu.
Pada 13 Mei, kubu partai penguasa mengadakan pawai tandingan, melibatkan massa etnis Melayu yang telah terbakar amarah.
Bentrokan tak terelakkan. Rumah-rumah dan kendaraan dibakar, rakyat saling bunuh. Sekitar 200an orang korban tewas, sebagian besar di pihak warga non-Melayu.
Ketika pemerintah Malaysia telah memberlakukan keadaan darurat dan menguasai keadaan, orang-orang non-Melayu di Singapura bersolidaritas terhadap saudara seetnis mereka di Malaysia dengan menyerang perkampungan Melayu di Singapura. Korban kembali berjatuhan.
Mahathir Memanfaatkan Momentum
Mahathir memanfaatkan momenum ini dengan mengeluarkan surat---bukan surat terbuka tetapi sengaja membocorkannya kepada publik---yang mengkritik seniornya di UMNO, PM Tunku Abdul Rahman.
Mahathir menuduh kebijakan-kebijakan publik pemerintahan Abdul Rahman lebih menguntungkan orang-orang Tionghoa dibandingkan orang Melayu. Kebijakan-kebijakan itu merugikan internal partai, menjadi penyebab tergerusnya kursi UMNO.
Tunku Abdul Rahman membalas serangan Mahathir dengan memecatnya dari jabatan di Majelis Tertinggi UMNO pada 12 Juli 1969, diikuti pemecatan dari keanggotaan partai pada 29 September 1969.
Tetapi Mahathir pandai membaca situasi. Ia melanjutkan perlawaan terhadap Abdul Rahman dengan menulis buku yang diterbitkan pada 1970: The Malay Dilemma.
Dalam buku ini, Mahatir menganalisis sejarah dan politik Malaysia yang menjadi akar rasisme di negara itu. Mahathir juga mengajukan posisi politiknya, antara lain bahwa penduduk bumiputra Malaysia adalah warga etnis Melayu; sifat toleran dan non-konfrontatif orang Melayu menyebabkan mereka terpinggirkan di negeri sendiri oleh etnis lain yang diistimewakan oleh pemerintah Kolonial Inggris
Dalam The Malay Dilemma, Mahathir juga mengusulkan sejumlah kebijakan ekonomi sebagai tindakan afirmatif negara untuk mendukung warga etnis Melayu dalam persaingan melawan hegemoni warga negara etnis Tionghoa.
The Malay Dilemma dilarang beredar selama masa kekuasaan Abdul Rahman. Tetapi banyak eksemplar telah terlanjur beredar dan mendapat simpati warga etnis Melayu.
Dalam persaingan merebut kekuasaan dengan Tunku Abdul Rahman, Â Tun Abdul Razak Hussein menggunakan pemikiran-pemikiran Mahathir di dalam The Malay Dilemma.
Ketika akhirnya Tun Abdul Razak Hussein berhasil menjadi perdana menteri, pemikiran Mahathir digunakan sebagai landasan penyusunan kebijakan ekonomi baru (New Economic Policy).
Dengan demikian, sejak sebelum menjadi perdana menteri pada 1981, pemikiran-pemikiran Mahathir telah menjadi landasan bagi haluan baru kebijakan ekonomi Malaysia yang diskriminatif---dalam kebijakan publik, diskriminatif tidak selalu berarti negatif---bagi warga etnis Melayu. Tetapi baru saat Mahathir menjadi PM (1981), larangan peredaran The Malay Dilemma dicabut.
Pada 2000-2002, Mahathir bersama Abdullah Ahmad Badawi merevisi pemikiran New Economic Policy dan berpendapat bahwa sudah saatnya warga etnis Melayu tidak lagi diproteksi melainkan dibiarkan bersaing secara adil dengan warga etnis lain di Malaysia.
Demikianlah, kerusuhan rasial 13 Mei 1969, sejarah kelam Rakyat Malaysia telah mengantar Mahathir menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah politik Malaysia, 1981-2003.
Uniknya, Mei 2018, Mahathir kembali terpilih menjadi perdana menteri melalui aliansi partai-partai yang justru mengusung nilai-nilai pluralisme. Politik yang unik. Kita akan membahasnya besok.
Pesan penting sebagai pelajaran atas kasus Malaysia dalam artikel ini adalah:
Pertama, akar konflik identitas itu (agama, etnis, ras) adalah ketidakadilan ekonomi. Maka pendekatan terpenting untuk mengatasi konflik identitas, termasuk  yang kini terjadi di Indonesia dan ditenggarai menjadi sumber aksi-aksi terorisme, adalah dengan mensejahterakan rakyat.
 Kedua, jangan terlalu fanatik mendukung tokoh, Bro n sist. Agar jika mereka berubah haluan, Ente tidak menangis bombay gigit jari di pojok.
***
Tilaria Padika
13052018
Saran bacaan:
James S. Gibney. "Mahathir's Dilemma."Wilson Quarterly Vol 11 (Winter1987) p.70-79
Dicky Sofjan. "The Malaysian Dilemma: Race, Religion and the Quest for National Unity." 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H