Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

TKA dan Akhir Internasionalisme Kelas Pekerja? (Bagian 1)

29 April 2018   19:47 Diperbarui: 4 Juni 2018   18:44 2964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: koranperdjoeangan.com

Said Iqbal, Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) belum lama ini menulis artikel di Kompasiana. "May Day 2018, Buruh Tolak TKA Buruh Kasar China." Sejak Ombusdman berkonferensi pers, kita tahu bahwa tuntutan ini tidak berbasis  hoax, tetapi memang demikianlah kenyataannya.

Dalam kesempatan ini, saya masih belum mengupas dampak masuknya TKA. Belakangan nanti lah soal ini. Biarkan kerongkongan fanatik-pragmatis dua kutub politik mengering dulu oleh debat kusir mereka, antara yang menyerang dengan isu 'antek aseng' dan yang bertahan sekenanya dengan hafalan soal polititisasi dan ngeles a la bocah bahwa  lebih banyak TKI di Tiongkok dari pada buruh Tiongkok di Indonesia.

Saat ini saya lebih senang memancing sakit kepala para pimpinan dan aktivis serikat buruh.

Begini ceritanya.

----------

Eh, tetapi mungkin lebih baik Anda sempatkan dulu membaca artikel sebelumnya, "TKA Kerah Biru China Adalah Anomali."

----------

Meski FSPMI hanya satu dari puluhan konfederasi, federasi, dan ratusan serikat buruh yang akan menggelar unjukrasa pada Hari Buruh Internasional nanti, artikel Om Said boleh dipandang sebagai perwakilan tuntutan dari jumlah buruh yang cukup besar. Hal ini mengingatkan saya pada  semangat serupa dalam diri buruh Amerika Serikat yang berdampak pada anomali sejarah: dukungan terhadap Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Suatu saat nanti kita akan cerita tentang ini, tentang Trump yang berkuasa bukan oleh dukungan borjuasi, tetapi oleh kelas pekerja. Jarang terjadi kelas pekerja memberikan dukungan kepada ultra-konservatif. Sebelumnya, sebagian besar kelas pekerja di Inggris juga memilih yes dalam Brexit.

Kondisi ini memancing rasa penasaran, apakah ini pertanda berakhirnya prinsip dan nilai internasionalisme dalam gerakan kelas pekerja? Hal ini juga sekaligus sinyal kepada para pimpinan dan aktivis serikat buruh progresif bahwa mereka memiliki pekerjaan rumah yang kian penting untuk segera diselesaikan: the question on worker's internationalism in new era.

Di masa lampau, gerakan buruh dilandasi prinsip dan nilai internasionalisme, bahwa persatuan buruh tidak mengenal batas sektor pekerjaan, identitas suku dan agama, serta negara. Itulah hakikat dari yel-yel klasik, "Buruh, bersatu, tak bisa dikalahkan!" Itulah makna dari lagu Internasionale yang dinyanyikan dalam setiap aksi massa raksasa. "Bangunlah kaum yang tertindas, bangunlah kaum yang lapar. Kehendak yang mulia dalam dunia senantiasa bersama kita. ... Dunia telah berganti rupa untuk kemenangan kita. ... dan internasionale jayalah di dunia."

Dahulu, seingat saya, pada masa awal 2000-an, sebuah contoh sungguh baik dari semangat internasionalisme ini dilakukan buruh-buruh Hongkong---atau mungkin Korea Selatan, atau Taiwan, saya agak lupa persisnya. Kita katakan saja Hongkong.

Pemerintah di negara itu memberlakukan tingkah upah berbeda antara buruh dan buruh migran. Buruh warga negara asli diupah lebih tinggi dibandingkan buruh migran. Jadinya industri lebih senang menyerap buruh migran dibandingkan warga negara sendiri. Maksudnya migran internasional, bukan industrial reserve army dari pedesaan yang dihasilkan dari keputusasaan petani oleh akumulasi primitif di pedesaan atau oleh kian rendahnya indeks nilai tukar petani (NTP).

Andai para pemimpin serikat buruh di Hongkong (kita sebut saja Hongkong) berkesadaran serupa Said Iqbal, maka tuntutan yang mereka angkat dalam unjukrasa-unjukrasa di sana akan serupa juga dengan tuntutan Said Iqbal yaitu menolak kehadiran buruh asing.

Tetapi serikat buruh di negeri itu justru menuntut agar pemerintahnya menaikkan dan melindungi tingkat upah buruh migran agar setara dengan upah buruh domestik --istilah domestik dalam artikel ini berarti buruh warga negara setempat. Bukan buruh asisten rumah tangga.

Dengan jalan itu, daya saing buruh domestik (dari sisi tingkat upah) di pasar tenaga kerja kembali setara dengan buruh migran. Dengan jalan itu pula, fleksibilitas pasar tenaga kerja yang sedang jadi trend kapitalisme global dalam beberapa dekade terakhir tidak berdampak politis pada perpecahan gerakan buruh.

Tetapi kondisi saat ini mungkin memiliki tantangan-tantangan yang lebih hebat bagi persatuan buruh se-dunia, bagi prinsip internasionalisme. Melebarnya jurang antara besarnya pasokan angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja di banyak negara berdampak pada kian sulitnya mempertahankan prinsip ini di tataran praksis perjuangan.

Memang bukan pertama kali kelas pekerja menghadapi tantangan serupa ini. Di masa Perang Dunia Pertama, gerakan kelas pekerja internasional terbelah dua kubu, antara yang  mengabdi kepada nasionalisme sempit dan mengekor kepada borjuasi masing-masing negara untuk mendukung tanah airnya memenangkan perang, dengan yang setia kepada internasionalisme, berjuang untuk mengakhiri perang. Perpecahan ini membentuk perkubuan politik gerakan buruh dunia hingga kini.

Kini, perkembangan pasar tenaga kerja lebih tiga dekade terakhir membawa kembali tantangan ini kepada kelas pekerja sedunia, tantangan terhadap prinsip persatuan sedunia-nya, internasionale kelas pekerja.

Bisa jadi ada penggiat gerakan buruh yang memandang saya melebih-lebihkan kecenderungan ini. "Ah, kan FSPMI yang bilang begitu, Om. Dari dulu juga FSPMI rada-rada sektarian. Yang ngotot menuntut upah sektoral dengan argumentasi upah tukang las pabrik rakit mobil tak boleh sama dengan upah tukang goreng kerupuk itu kan FSPMI juga dulu." Mungkin begitu komentar mereka. 

Sedikit catatan dulu soal ini. Tuntutan upah minimum sektoral bisa jadi berangkat dari jiwa sektarian, yang memandang diri lebih tinggi dari buruh sektor lainnya, dan karena itu oportunis memperjuangkan selamat sektor sendiri.

Tetapi bisa juga positif, berlatar niat untuk menuntut perlakuan yang adil. Pabrik-pabrik metal memang lebih kaya dan karena itu harus dituntut membayar upah buruh lebih besar dibandingkan perusahaan sektor makan minum. Yang mana yang melatarbelakangi perjuangan upah sektoral, saya tidak tahu dan belum berniat mencari tahu dan menghakimi.

Lalu ada hal aneh. Melirik pemberitaan media massa terkait persiapan perayaan May Day, saya terkejut bahwa yang akan menjadikan isu Tenaga Kerja Asing sebagai tuntutan aksi justru bukan FSPMI melainkan KSBSI.

Serikat yang dipimpin 'veteran' gerakan buruh Muhtar Pakpahan---di saat tokoh perjuangan buruh seangkatannya telah memberi estafet kepada yang muda-muda dan banyak pula yang telah meninggal, Bang Muhtar rupanya masih betah memimpin---menurut pemberitaan akan menuntut tiga hal pokok: cabut PP 78/2015, cabut Perpres 20/2018 tentang Tenaga Kerja Asing, dan copot Menaker Hanif Dhakiri.(1)

Padahal Opa Muhtar dan KSBSI konon berideologi sosial demokrat. Saya jadi ingat bahwa pengkhianatan pertama terhadap prinsip internasionalisme kelas pekerja saat menghadapi Perang Dunia I dahulu juga oleh partai-partai pekerja beraliran sosial demokrat di Eropa.

FSPMI, sebagaimana diberitakan di dalam website-nya justru tidak menjadikan isu TKA sebagai isu utama. Pada peringatan May Day 2018 ini FSPMI  mengusung tema  "Bangun Welfare State,  Akhiri Kerakusan Korporasi."

Baca juga Kumpulan artikel tentang Perjuangan Buruh

Tiga tuntutan utama yang diangkat--disebut Tritura--adalah 1) Tolak Murah dan Cabut PP 78 Tahun 2015; 2) Turunkan Harga Beras dan Tarif Harga Dasar Listrik, serta Bangun Kedaulatan Pangan dan Energi; dan 3) Pilih Capres 2019 yang pro Buruh dan Rakyat.(2)

Padahal dibandingkan KSBSI yang mengaku sosdem, FSPMI historisnya adalah serikat buruh kuning---istilah dalam gerakan buruh bagi serikat buruh yang disponsori pemerintah---sebab berdiri sebagai pecahan FSP LEM SPSI.

FSP LEM SPSI sendiri menjadikan pencabutan Perpres 20/2018 sebagai satu dari tiga tuntutan utama dalam May Day ini.

Dua tuntutan lain adalah cabut PP 78/2015 dan tolak revisi UU revisi UU 13/2003. Agak aneh karena sebenarnya ketentuan mekanisme pengupahan dalam PP 78/2015 adalah turunan dari UU 13/2003. Well, besok-besok kita bahas soal  PP 78/2015 dan UU 13/2003. Kedua produk perundang-undangan ini adalah salah satu produk dari tarik-menarik soal fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Kini kita akan bicarakan fleksibilitas pasar tenaga kerja dan tantangan bagi gerakan buruh. Tetapi tidak hari ini. Tunggu bagian keduanya besok.

Tabik.

Baca: BAGIAN 2

Jangan lupa Baca Dua Artikel Terkait sebelumnya:

***

Tilaria Padika

29042018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun