Dahulu, seingat saya, pada masa awal 2000-an, sebuah contoh sungguh baik dari semangat internasionalisme ini dilakukan buruh-buruh Hongkong---atau mungkin Korea Selatan, atau Taiwan, saya agak lupa persisnya. Kita katakan saja Hongkong.
Pemerintah di negara itu memberlakukan tingkah upah berbeda antara buruh dan buruh migran. Buruh warga negara asli diupah lebih tinggi dibandingkan buruh migran. Jadinya industri lebih senang menyerap buruh migran dibandingkan warga negara sendiri. Maksudnya migran internasional, bukan industrial reserve army dari pedesaan yang dihasilkan dari keputusasaan petani oleh akumulasi primitif di pedesaan atau oleh kian rendahnya indeks nilai tukar petani (NTP).
Andai para pemimpin serikat buruh di Hongkong (kita sebut saja Hongkong) berkesadaran serupa Said Iqbal, maka tuntutan yang mereka angkat dalam unjukrasa-unjukrasa di sana akan serupa juga dengan tuntutan Said Iqbal yaitu menolak kehadiran buruh asing.
Tetapi serikat buruh di negeri itu justru menuntut agar pemerintahnya menaikkan dan melindungi tingkat upah buruh migran agar setara dengan upah buruh domestik --istilah domestik dalam artikel ini berarti buruh warga negara setempat. Bukan buruh asisten rumah tangga.
Dengan jalan itu, daya saing buruh domestik (dari sisi tingkat upah) di pasar tenaga kerja kembali setara dengan buruh migran. Dengan jalan itu pula, fleksibilitas pasar tenaga kerja yang sedang jadi trend kapitalisme global dalam beberapa dekade terakhir tidak berdampak politis pada perpecahan gerakan buruh.
Tetapi kondisi saat ini mungkin memiliki tantangan-tantangan yang lebih hebat bagi persatuan buruh se-dunia, bagi prinsip internasionalisme. Melebarnya jurang antara besarnya pasokan angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja di banyak negara berdampak pada kian sulitnya mempertahankan prinsip ini di tataran praksis perjuangan.
Memang bukan pertama kali kelas pekerja menghadapi tantangan serupa ini. Di masa Perang Dunia Pertama, gerakan kelas pekerja internasional terbelah dua kubu, antara yang  mengabdi kepada nasionalisme sempit dan mengekor kepada borjuasi masing-masing negara untuk mendukung tanah airnya memenangkan perang, dengan yang setia kepada internasionalisme, berjuang untuk mengakhiri perang. Perpecahan ini membentuk perkubuan politik gerakan buruh dunia hingga kini.
Kini, perkembangan pasar tenaga kerja lebih tiga dekade terakhir membawa kembali tantangan ini kepada kelas pekerja sedunia, tantangan terhadap prinsip persatuan sedunia-nya, internasionale kelas pekerja.
Bisa jadi ada penggiat gerakan buruh yang memandang saya melebih-lebihkan kecenderungan ini. "Ah, kan FSPMI yang bilang begitu, Om. Dari dulu juga FSPMI rada-rada sektarian. Yang ngotot menuntut upah sektoral dengan argumentasi upah tukang las pabrik rakit mobil tak boleh sama dengan upah tukang goreng kerupuk itu kan FSPMI juga dulu." Mungkin begitu komentar mereka.Â
Sedikit catatan dulu soal ini. Tuntutan upah minimum sektoral bisa jadi berangkat dari jiwa sektarian, yang memandang diri lebih tinggi dari buruh sektor lainnya, dan karena itu oportunis memperjuangkan selamat sektor sendiri.
Tetapi bisa juga positif, berlatar niat untuk menuntut perlakuan yang adil. Pabrik-pabrik metal memang lebih kaya dan karena itu harus dituntut membayar upah buruh lebih besar dibandingkan perusahaan sektor makan minum. Yang mana yang melatarbelakangi perjuangan upah sektoral, saya tidak tahu dan belum berniat mencari tahu dan menghakimi.