Politisi Gerinda, Arief Poyuono menyatakan dalam dialog CNN Indonesia---sedang berlangsung saat artikel ini dibuat---bahwa penyerapan TKA China adalah bagian dari persyaratan investasi yang disodorkan pemerintah China. Secara logis, saya pun akan berpikir demikian. Tetapi apakah benar?
Dalam ranah utang luar negeri, kita mengenal yang namanya project loan. Dua puluh tahun lampau para aktivis telah mengkritik project loan sebagai mekanisme curang negara maju untuk sekali merengkuh dayung dua pulau terlampaui.
Project loan yang biasanya dibiayai institusi pendanaan bilateral pemerintah--seperti Overseas Development Administration milik Inggris--atau institusi pembiayaan multilateral--seperti Asian Development Bank dan The European Bank for Reconstruction and Development-- sering disertai syarat berupa material dan kontraktor utama proyek berasal dari negara pemberi pinjaman.
Dengan mekanisme ini, project loan bukan sekedar cara negara maju untuk melempar surplus kapitalnya ke negara berkembang agar menjadi produktif, tetapi juga memanfaatkan dana pinjaman itu untuk membiayai produk, perusahaan, dan tenaga kerja mereka sendiri. Singkatnya, sudah dapat pembayaran bunga pinjaman, barang pun laku, tenaga kerja juga dapat pekerjaan.
Arief Poyuono, dan banyak orang lainnya, bahkan saya pun pada awalnya--sebelum menguji kebenarannya-- berpikir dengan logika serupa dalam soal TKA ini. Â Investasi China bukan saja mekanisme transfer surplus kapital agar produktif tetapi juga menjadi waduk penampung surplus tenaga kerja kerah biru di negaranya ke Indonesia.
Dugaan itu logis. Tetapi logis saja tidak cukup. Kita harus menguji logika ini dengan fakta-fakta pasar tenaga kerja, terutama tenaga kerja kerah biru di China.
Saya coba menelusuri data dan informasi pasar tenaga kerja, terutama buruh kerah biru di China dan menemukan bahwa sebenarnya sejak 2010 perekonomian China mengalami gejala yang disebut "Lewis turning point." Ini adalah gejala turunnya penawaran (supply) tenaga kerja --sehingga jumlah permintaan (lapangan kerja) lebih besar-- dan berdampak peningkatan upah.
Akhir Desember 2015, Antonio Graceffo, dosen ekonomi di Universitas Shanghai menulis artikel berjudul "China Suffers from A shortage of blue collar workers." Sebagaimana judul, artikel ini menceritakan kekurangan buruh kerah biru di industri dalam negeri China yang menurutnya merupakan dampak dari program KB satu anak cukup.
Beberapa tahun sebelumnya, 2012, wartawan pemenang Pulitzer, Keith Bradsher menulis hal serupa. Dalam artikelnya di New York Times, "Two Side To Labor in China," Bradsher menceritakan bahwa kelangkaan buruh kerah biru ini cukup serius bagi pabrik di China sebab berdampak turunnya kemampuan memenuhi kuota produksi dan meningkatnya upah buruh.Â
Wartawan lainnya, Li Qiaoyi melaporkan hal serupa dalam artikelnya di Global Time, "Blue-collar market offers untapped potential," yang menceritakan bagaimana kebutuhan besar akan tenaga kerja di China telah mendorong tumbuhnya industri internet yang menyediakan layanan daring agen lowongan kerja.