Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Indeks Tingkat Kebahagiaan Itu Politis

24 April 2018   23:46 Diperbarui: 25 April 2018   13:01 2879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sial bagi Jokowi. Upayanya belum berbalas setimpal oleh peningkatan Indeks tingkat kebahagiaan orang Papua dan NTT, dua wilayah di kawasan Timur Indonesia. Indeks tingkat kebahagiaan rakyat di dua wilayah itu masih menduduki peringkat 3 terbawah, mengapit Sumatera Utara sebagai perwakilan kawasan Barat Indonesia.

Apakah itu berarti para responden di Papua dan NTT sedang menjadikan survei ini sebagai alat komunikasi politik kepada pemerintah? Sudah pasti: ya! Hanya saja itu bisa dilakukan secara sadar, bisa juga tidak. 

Entah sadar pun tidak, dalam menjawab kuesioner, responden menyampaikan harapan-harapan mereka dan penilaian-penilaian mereka. Harapan dan penilaian itu bersandar pada persepsi mereka.

Pada masyarakat yang telah lama merasakan ketertinggalan dan mengisi ruang publik mereka dengan dialog-dialog tentang ketertinggalan, jawaban yang paling mungkin mungkin muncul adalah ya, mereka kurang bahagia sebab pada banyak aspek pemenuhuan kebutuhan mereka masih jauh tertinggal dibandingkan saudara sebangsa di Pulau Jawa.

Responden, dalam waktu yang tergesa-gesa tanpa jeda ruang kontemplatif yang cukup untuk sungguh-sungguh menilai keadaan akan menjawab secara apriori, sesuai citra umum yang melekat lama dalam kepalanya, yang dibentuk oleh percakapan-percakapan sehari-harinya.

Misalnya begini. Katakanlah saya seorang petani berijazah sekolah dasar. Sudah sekian lama saya mendengar percakapan publik soal betapa malangnya seorang yang hanya berijazah sekolah dasar itu. Sebenarnya dalam kehidupan keseharian, saya tidak berpersoalan sama sekali dengan tingkat pendidikan formal, sebab pengetahuan saya dalam bertani cukup baik, yang saya peroleh sebagai warisan pengetahuan turun-temurun, akumulasi pengalaman pribadi, dan penyuluhan-penyuluhan. Saya tidak tahu untuk apa saya harus bersekolah hingga mencapai sarjana dan bagaimana kelak ilmu itu akan saya pakai dalam pekerjaan saya.

Tetapi ketika seorang enumerator datang dan bertanya apakah saya bahagia dengan tingkat pendidikan saya yang cuma tamatan sekolah dasar, ada semacam mekanisme otomatis yang membuat saya menjawab secara apriori, berdasarkan pandangan umum yang saya tahu bahwa hanya menamatkan sekolah dasar itu adalah kemalangan. Karena itu saya mengisi angka 3 pada pertanyaan "Apakah Anda puas dengan pendidikan?"

Saya merasa tidak tepat mengisi lebih tinggi dari 5 sebab khawatir jika si penanya memandang saya orang aneh yang puas dengan tingkat pendidikan yang rendah itu.

Begitulah. Makna adalah produk sosial. Kita memaknai sesuatu berdasarkan percakapan-percakapan di sekitar kita. Komunikasi itu hegemonik terhadap kesadaran individu. 

Maka ketika sebuah survei dilakukan dengan tools enumerator yang sekedar pengisi kuesioner, susunan pertanyaan-pertanyaan yang lebih kaku dan dingin dibandingkan pertanyaan-pertanyaan dalam BAP di kantor polisi, saya akan menjawab sesuai dugaan saya terhadap persepsi publik, bukan berdasarkan kontemplasi. Inilah kelemahan dari riset-riset kuantitatif yang mengandalkan lembaran kuesioner.

Inilah penjelasan dari jawaban orang-orang Papua dan NTT adalah bentuk komunikasi politik kepada pemerintah yang bisa merupakan upaya sadar, bisa juga tidak. Ketika itu tidak dilakukan secara sadar, jawaban-jawaban yang diberikan adalah bias wacana yang hegemonik, bukan persepsi pribadi yang lahir dari ruang kontemplatif yang sungguh-sungguh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun