Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Sebenarnya Sudut Pandang "Matter" dalam Menulis?

4 April 2018   06:00 Diperbarui: 17 Mei 2018   02:31 1909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: librarianwhodoesntsayshhh.com

Buka telinga hatimu pada lantunan syair Sanai dan Rumi. Di sanalah 'kan Kautemukan jawaban paling benar, mengapa sudut pandang dalam menulis itu penting. 

Kautahu, Ca? Ketika seorang yang sehari-hari menulis (jika agak pedean, Kau boleh menyebutnya penulis) tiba-tiba menulis tentang menulis, itu pertanda ide-ide sedang pergi meninggalkan batok kepalanya.

Seorang yang mencintai menulis sejatinya tidak  menulis tentang tips-tips menulis. Sungguh ia tak paham bagaimana sebenarnya menulis yang baik itu. Yang ia bisa hanya menulis dan terus menulis, berusaha berbagai macam cara agar orang tertarik untuk singgah; terperangkap untuk menyusurkan mata melewati paragraf pertama; bertahan hingga titik penghabisan. Lalu ketika akhirnya mengalihkan pandangan dari layar, si pembaca akan menarik napas lega sambil membatin, "Hmmm, jadi gitu toh."

"Hmmm, jadi gitu toh" adalah tujuan akhir sebuah karya tulis. Benar, Ca. Itu pertanda ia telah menyumbang sesuatu. Itu tanda pertama tulisanmu berdampak. Itu artinya karyamu menggenapi tujuannya.

""Hmmm, jadi gitu toh" serupa saja dengan "ouwh," "ooooh," "oaihhh," yang dibisikkan kekasihmu kala kalian ber...(sensor).  Jika tak ada itu kau akan frustrasi sebab merasa semua akrobatmu sia-sia belaka. Dirimu tak menyumbang apa-apa padanya. 

Saya suka menulis. Setidaknya begitu yang saya kira. Dengan menulis, saya merasa telah berbuat sesuatu. Menyumbang sesuatu. Sebab sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi lingkungannya, sesamanya. Bukankah demikian yang pernah ditulis si bijak Nashiruddin al-Albani?

Tetapi saya bukan seorang yang mempelajari bagaimana menulis yang benar itu. Yang saya lakukan adalah baik untuk saya. Belum tentu lebih baik dan berguna bagimu, Ca. Karena itu, Ca, bacalah ini sekedar sebagai celotehan seseorang yang sedang kering gagasan. Syukurlah jika ada manfaat bagimu.

Kali ini saya ingin berceloteh tentang sudut pandang, Ca. Sebab begitulah admin Kompasiana memberi ulasan sepotong pada artikel-artikel saya yang menempatkan Tilaria Padika dalam jajaran 7 Kompasianer terpopuler bulan Maret ini.

"Yang menarik tulisan-tulisan Tilaria selalu mengambil sudut pandang unik dari isu-isu terkini." Demikian admin menulis. 

Begitu nasip penulis di masa kini, Ca. Hanya pujian dan sepotong ulasan yang Kaudapat. Seolah-olah pujian itulah upah yang kita harapkan.

Ah, tak perlu Kau kecewa, Ca. Ingatlah saja bahwa menulis itu seperti bercinta. Upahnya adalah kesenangan padamu. Kesenangan padamu lengkap jika pasanganmu  juga merasa senang. 

Kesenanganmu semata tanpa kesenangan pasanganmu adalah pemerkosaan. Sementara apa sebutan bagi pencinta demi upah uang? Pekerja Seks, Ca. Jangan Kautambahkan kata komersial, sebab hanya akan bikin aneh. Kapitalisme telah mengubah setiap pekerjaan menjadi komersial. Hanya ibu rumah tangga yang kerjaannya tidak dikonversi ke dalam lembaran duit. 'Shadow Work' kata Om Ivan Illich.

Meski bukan pejaja seks, penulis jelas butuh duit dan senang duit, dan  akan berterima kasih jika diberikan duit. Tetapi tak ada imbalan duit pun, bukan  berarti kita harus berhenti mencari kesenangan, bukan?

Kita menulis karena kita bahagia melakukannya, Ca. Dengan menulis yang bermanfaat bagi sesama, kita bahagia. Sebab "Jika  kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian  sendiri.” Begitu dahulu pernah disabdakan kepada turunan Yakub yang  menyebut diri Israel itu. Tidakkah Kau pernah membacanya? Masing-masing pihak yang dahulu berperang, memiliki versinya. Kau mungkin membacanya dalam kitab Sirakh. Atau mungkin Kau menemukannya dalam Al-Isra.

Haha. Saya yakin dirimu tersenyum, Ca. Lihatlah, orang-orang yang berperang itu, sesungguhnya mereka membaca dan membela narasi besar yang sama.

Ketika tekt ditiupkan, Ca. Kebudayaan adalah gendang telinga yang menyaringnya. Kebudayaan pula bibir yang meneruskan bisikan sehingga teks menggema. Artinya, teks yang hidup di tengah-tengah kita telah direkonstruksi kebudayaan, telah disesuaikan agar dapat terdengar. Tanpa itu, teks hanya akan menjadi bebunyian tanpa makna. Tanpa rekonstruksi, ia tak akan bisa hidup dari masa ke masa.

Kau boleh jadikan remaja generasi kini yang tiba-tiba tersandung prasasti berpahat huruf-huruf Pallawa sebagai perumpamaannya. Ia hanya akan melihatnya sebagai pecahan batu aneh dari zaman dulu. Lalu segera meninggalkannya setelah berswapotret. Pada caption di instagram, ia tuliskan, "Jempol terkilir, tersantung batu dengan goresan aneh." Teman-temannya akan memberi 'like' dan berkomentar, "Makanya kalau jalan hati-hati. GWS yaaa." Tak satupun yang menganggap prasasti itu penting sebab mereka tak tahu itu apa.

Baiklah, Ca. Saya kembali ke inti topik kita. Sudut pandang.

Mengapa menurutmu sudut pandang penting, Ca? Jangan Kaujawab. Jika sudah Kaujawab, untuk apa saya tuliskan lagi di sini. Saya akan berasumsi Kau tak tahu apa-apa soal sudut pandang ini, Ca. Tanpa asumsi itu, apa yang saya lakukan seperti onani saja. Atau lebih bijak mengatakannya sebagai seperti menggarami laut.

Ada dua alasan utama mengapa sudut pandang itu penting, Ca. Yang pertama, pada tingkat yang rendah adalah agar pembaca tertarik. Sebuah peristiwa basi yang sudah dituliskan banyak orang akan jadi menarik lagi jika diberikan sudut pandang baru.

"Lihatlah, si tukang ojek online itu menabrak mbok jamu hingga terjungkal" kata orang-orang dalam kerumunan. Lalu Kaudatang, menyibak kerumunan itu, dan berkata, "Lihatlah, si mbok jamu terjungkal di tabrak tukang ojek."

Jika saya berada di antara kerumunan itu, Ca, maaf, dirimu sudah saya tampol. Hanya menambah bising saja. Inilah yang orang tua dulu katakan sebagai masuk tak genap keluar tak ganjil.

Percakapan akan berkembang jika Kaukatakan sesuatu yang lain, Ca. Misalnya, "Ya ampyun, mbok jamu itu mungkin kembaran Unge." Bunga Citra Lestari maksudmu. Perhatian orang-orang tentu akan beralih padamu. Engkau menjadi genap bagi kumpulan itu.

Saya tak akan berpanjang-panjang soal manfaat sudut pandang pada lapisan pertama ini, Ca. Kau bisa membacanya dari ulasan om-tante Kompasianer yang sudah pernah terbit sebelumnya. Ada tulisan Om Pebrianov ("Pentingnya Memilih "Angle" untuk Membuat Tulisan Opini"), Tante Rita Wulandari ("Tere Liye: "Karena Penulis yang Baik Menemukan Sudut Pandang Spesial"), Om Syafriansyah Viola (""Nilai Emas" Sebuah Tulisan"), dan banyak lagi yang bisa Kaucari sendiri.

Saya akan lebih suka kita masuk lebih dalam, Ca, ke layer kedua. Apa sebenarnya tujuan penting dari sudut pandang itu.

Tahukah Kau, bagaimana kesadaran atau makna dari suatu peristiwa itu terbentuk, Ca? Melalui komunikasi!

Sudah pernah Kaubaca kisah bijak orang-orang buta dan gajah kan, Ca? Itu puisi Hakim Sanai, "On The Blind Men And The Affair Of The Elephant." Atau Kau mungkin lebih akrab dengan versi muridnya, Rumi dalam "The Elephant in The Dark."

Baiklah. Saya anggap belum Kautahu. Saya kutipkan untukmu, Ca.

Versi Sanai, "Every one had seen some one of its parts, and all had seen it wrongly. No mind knew the whole, knowledge is never the companion of the blind all, like fools deceived, fancied absurdities."

Versi Rumi, "Each of us touches one place and understands the whole that way. The palm and the fingers feeling in the dark are how the senses explore the reality of the elephant."

Semoga Kau pernah membacanya dalam tulisan-tulisan orang lain yang menyinggung karya kedua Mpu Persia ini. Jika belum, saya takut padamu, Ca. Dirimu berbahaya sebab tak banyak membaca.  "Cave ab homine unius libri," kata orang-orang Romawi kuno. Hati-hati pada orang yang hanya punya satu buku.

Apa yang disampaikan Sanai dan Rumi itu merupakan hakikat dari pentingnya memilih sudut pandang, Ca. Pada dasarnya setiap orang adalah orang buta yang melihat hakikat dari sudut pandangnya. Sebagai orang-orang buta, kita hanya akan menemukan makna atau pengertian atau pemahaman dari suatu entitas atau peristiwa atau fenomena atau objek atau terserah Kausebut apa, melalui komunikasi.

Demikianlah kenyataan itu tercipta dalam komunikasi, Ca. Kenyataan itu produk sosial.

Saya tidak mengatakan bahwa kenyataan yang kita pahami sebagai kenyataan  adalah sesungguhnya kenyataan itu.

Hakikat dari sesuatu itu sesungguhnya mandiri terhadap persepsi kita. Tetapi dengan melibatkan sebanyak mungkin persepsi, kita akan semakin mendekati pemahaman yang utuh atas kenyataan. Mungkin kita hanya sampai pada tingkatan itu, mendekati. Tidak mengapa, Ca. Hanya Tuhan yang sungguh-sungguh memahami kenyataan dengan sebenar-benarnya.

Nah, Ca, agar Kau bisa menyumbang sedikit berarti kepada pemahaman bersama, hendaklah Kaupilih baik-baik sudut pandang dalam menulis. Menuliskan hal yang sudah jadi sudut pandang jamak berarti dirimu tidak menyumbang apa-apa selain kebisingan.

 Kebisingan layak berganjar lemparan batu sebesar kelapa di kepala. Akan saya lempari dirimu sekalipun ada Pria yang melindungimu dan menantang, "Siapa yang merasa tak berdosa, silakan melempar pertama." Akan saya lempari pula Pria itu, meski Ia 'kan mengutuk saya senasip pohon ara itu.

Akan lebih baik lagi, Ca, jika artikel-artikelmu masuk lebih jauh, mengupas kulit dan membicarakan yang lebih dalam, pada sebab di balik peristiwa. Itu penting, Ca, sebab banyak orang lebih senang melihat, membicarakan, dan menuliskan yang tampak. Yang tampak itu sering sekedar dampak, sekedar akibat.

Jangan menuliskan peristiwa pohon tumbang, Ca. Tuliskanlah angin yang membuat ia tumbang. Lebih baik lagi tuliskan mengapa angin itu bisa jadi sedemikian kencang hingga menumbangkan pohon.

"Causa latest, vis est notissima," Ca. Penyebabnya tersembunyi namun sangat jelas dampaknya. Karena itu ketika banyak orang fokus kepada dampak, kepada apa yang tampak, masuklah Kau mengupas yang hahikat, yang penyebab.

Ketika Kautulis soal causa, bukan effectus, akan kian genap keterlibatanmu bagi pembentukan pemahaman bersama, kesadaran bersama.

Begitulah kira-kira sumbangan saya, mengapa sudut pandang itu penting. Semoga berguna untukmu, Ca. Sungguh, saya tak hendak mengguruimu. Saya hanya kehabisan topik untuk dituliskan.

Ca? Pembacaaa? Masih membacakah dirimu?

Baca artikel-artikel Seri Tilaria Padika tentang MENULIS

***

Tilaria Padika

02042018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun