Ah, tak perlu Kau kecewa, Ca. Ingatlah saja bahwa menulis itu seperti bercinta. Upahnya adalah kesenangan padamu. Kesenangan padamu lengkap jika pasanganmu juga merasa senang.
Kesenanganmu semata tanpa kesenangan pasanganmu adalah pemerkosaan. Sementara apa sebutan bagi pencinta demi upah uang? Pekerja Seks, Ca. Jangan Kautambahkan kata komersial, sebab hanya akan bikin aneh. Kapitalisme telah mengubah setiap pekerjaan menjadi komersial. Hanya ibu rumah tangga yang kerjaannya tidak dikonversi ke dalam lembaran duit. 'Shadow Work' kata Om Ivan Illich.
Meski bukan pejaja seks, penulis jelas butuh duit dan senang duit, dan akan berterima kasih jika diberikan duit. Tetapi tak ada imbalan duit pun, bukan berarti kita harus berhenti mencari kesenangan, bukan?
Kita menulis karena kita bahagia melakukannya, Ca. Dengan menulis yang bermanfaat bagi sesama, kita bahagia. Sebab "Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri.” Begitu dahulu pernah disabdakan kepada turunan Yakub yang menyebut diri Israel itu. Tidakkah Kau pernah membacanya? Masing-masing pihak yang dahulu berperang, memiliki versinya. Kau mungkin membacanya dalam kitab Sirakh. Atau mungkin Kau menemukannya dalam Al-Isra.
Haha. Saya yakin dirimu tersenyum, Ca. Lihatlah, orang-orang yang berperang itu, sesungguhnya mereka membaca dan membela narasi besar yang sama.
Ketika tekt ditiupkan, Ca. Kebudayaan adalah gendang telinga yang menyaringnya. Kebudayaan pula bibir yang meneruskan bisikan sehingga teks menggema. Artinya, teks yang hidup di tengah-tengah kita telah direkonstruksi kebudayaan, telah disesuaikan agar dapat terdengar. Tanpa itu, teks hanya akan menjadi bebunyian tanpa makna. Tanpa rekonstruksi, ia tak akan bisa hidup dari masa ke masa.
Kau boleh jadikan remaja generasi kini yang tiba-tiba tersandung prasasti berpahat huruf-huruf Pallawa sebagai perumpamaannya. Ia hanya akan melihatnya sebagai pecahan batu aneh dari zaman dulu. Lalu segera meninggalkannya setelah berswapotret. Pada caption di instagram, ia tuliskan, "Jempol terkilir, tersantung batu dengan goresan aneh." Teman-temannya akan memberi 'like' dan berkomentar, "Makanya kalau jalan hati-hati. GWS yaaa." Tak satupun yang menganggap prasasti itu penting sebab mereka tak tahu itu apa.
Baiklah, Ca. Saya kembali ke inti topik kita. Sudut pandang.
Mengapa menurutmu sudut pandang penting, Ca? Jangan Kaujawab. Jika sudah Kaujawab, untuk apa saya tuliskan lagi di sini. Saya akan berasumsi Kau tak tahu apa-apa soal sudut pandang ini, Ca. Tanpa asumsi itu, apa yang saya lakukan seperti onani saja. Atau lebih bijak mengatakannya sebagai seperti menggarami laut.
Ada dua alasan utama mengapa sudut pandang itu penting, Ca. Yang pertama, pada tingkat yang rendah adalah agar pembaca tertarik. Sebuah peristiwa basi yang sudah dituliskan banyak orang akan jadi menarik lagi jika diberikan sudut pandang baru.
"Lihatlah, si tukang ojek online itu menabrak mbok jamu hingga terjungkal" kata orang-orang dalam kerumunan. Lalu Kaudatang, menyibak kerumunan itu, dan berkata, "Lihatlah, si mbok jamu terjungkal di tabrak tukang ojek."