Sebenarnya tradisi itu sudah formalitas saja. Apapun kondisi hati hewan korban, si pemimpin upacara dan para tetua yang hadir akan bilang uratnya bagus. Makanya acara itu disebut juga "naring urat dia" atau memuji urat yang baik. Jadi, dari awalnya berupa ramalan, ia kini hanya semacam doa, ungkapan harapan.
Etnis Lamaholot yang mendiami ujung Timur Flores dan pulau-pulau kecil seperti Adonara, Solor, Lembata (Lomblen) hingga Alor (terutama Pantar) juga mempraktikkan hal ini. Setiap kampung etnis Lamaholot dipimpin oleh empat suku dengan masing-masing tugas spesifik.Â
Suku yang berposisi sebagai Hurin bertugas membunuh hewan korban dan merawal dengan cara membaca urat hati hewan tersebut. Ramalan itu digunakan untuk mengetahui musim tanam yang baik. Pada zaman dahulu ramalan juga terkait kemenangan perang.
Di Pulau Timor, ketika terlibat di dalam advokasi melawan industri keruk marmer yang mengancam keberlangsungan ekologi, saya pernah diminta ikut serta di dalam upacara perang. Jika tak salah sekitar tahun 2006.Â
Ketika itu, setelah sebagian penolak tambang marmer dipenjara pemerintah, orang-orang yang hendak melanjutkan perjuangan telah bersiap-siap akan menduduki kantor bupati selama sebulan penuh. Sebagai persiapan, mereka mengadakan upacara perang di kampung tua yang terletak di persimpangan 3 sungai besar.
Ternyata inti dari upacara yang dimaksud adalah penyembelihan ayam korban dan membaca urat hati ayam. Saya terkesima. Rupanya penduduk penghuni punggung Gunung Mutis di Kabupaten TTS, Pulau Timor ini juga mempraktikkan hal serupa orang Manggarai di Barat Pulau Flores dan orang Lamaholot di Timur Pulau Flores. Padahal ketiganya adalah kebudayaan yang berbeda. Topogeni, genealogi, dan bahasa yang sama sekali berbeda.
Ketika film Exodus: God and King menampilkan hal serupa di Mesir jauh sebelum Masehi, saya pun terdorong untuk mencari tahu lebih jauh.
Rupanya praktik meramal (divination) dengan media organ dalam hewan korban sudah jamak di berbagai kebudayaan tua dunia. Praktik itu disebut extispicy.
Dalam kebudayaan Romawi, extispicy disebut haruspicina, berasal dari haru yang artinya organ dalam dan kata specere yang berarti melihat. Dalam kebudayaan Yunani, extispicy disebut hepatoskopia, yang berarti melihat hati. Romawi dan Yunani mengadopsi extispicy dari agama kuno Etruscan. Kebudayaan Etruscan juga mempengaruhi peradaban Phoenicia, peradaban tua di wilayah yang kini mencakup Lebanon, Israel dan Syria.
Kebudayaan lebih tua lagi yang mempraktikan extispicy adalah Babilonia di Mesopotamia, wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Irak. Di kebudayaan ini, pendeta pembaca hati hewan kurban disebut baru. Agama orang Mesopotamia diadopsi ke dalam agama Hittite oleh masyarakat penghuni wilayah yang kini disebut Turki.
Informasi lebih detil tentang peradaban kuno yang mempraktikkan extispicy ini bisa Om-Tante baca dalam "Animals and Divination" yang ditulis Om Peter Struck untuk buku The Oxford Handbook of Animals in Classical Thought and Life yang terbit 2014 lalu.