Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bijak Menilai Soal Utang Rp 7.000 Triliun

23 Maret 2018   17:00 Diperbarui: 24 Maret 2018   18:05 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Utang Rp 7.000 triliun itu juga bukan seluruhnya merupakan utang luar negeri. Utang luar negeri pemerintah pada September 2017 sebesar 177 miliar dollar AS, yang jika dikonversi pada kurs kurs 13.500 menjadi sekitar Rp 2.389 triliun. Sementara utang luar negeri swasta 172 miliar dollar AS (dengan kurs 13.500 menjadi sekitar Rp 2.322 triliun). Menurut Indef, nominal utang swasta itu kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN.

Mengapa besar utang luar negeri pihak swasta harus ikut dipertimbangkan sehingga besar jumlahnya perlu menjadi alarm agar waspada?

Utang luar negeri, istilah formalnya adalah external debt, yaitu utang yang dilakukan dalam foreign currency.

Bahaya dari tingginya external debt bukan terletak pada ia dilakukan swasta atau pemerintah. Malah problem external debt yang berujung krisis yang disebut sebagai debt-provoked crisis di masa kini cenderung dilatarbelakangi liberalisasi utang luar negeri.

External debt, baik public debt (utang pemerintah) atau private debt (utang swasta) berisiko karena pertama exchange rate risk atau risiko nilai tukar.

Utang ini dicatat dalam mata uang negara pemberi utang atau mata uang kuat internasional, umumnya dollar. Utang tersebut dipakai untuk investasi dalam negeri yang berimbal pendapatan dalam rupiah. Pendapatan itu yang akan dipakai untuk membayar utang kembali dalam bentuk dollar.

Ketika kurs dollar naik, nominal utang dalam rupiah juga naik. Jika kurs dollar naik berkali lipat, mungkin oleh karena krisis atau kepanikan tertentu, nilai utang dalam rupiah juga naik berkali-kali lipat sehingga debitor mengalami gagal bayar.

Inilah yang terjadi di Indonesia pada 1997 dahulu. Rupiah jatuh dari 2.300 per dollar AS Mei 1997 menjadi Rp 4.650 per dollar AS di akhir tahun. Dengan demikian nominal external debt dalam rupiah menjadi dua kali lipat. Perbankan tidak sanggup membayar utang valasnya, kekurangan likuiditas dan bangkrut. Untuk mengatasi itu, Negara harus menganggarkan BLBI! Itu sebabnya krisis ekonomi 1997 disebut krisis moneter.

Bahaya kedua dari external debt adalah persistent current account deficits, deficit neraca berjalan.

Bahaya ini terkait ketergantungan negara terhadap utang luar negeri untuk kebutuhan pembiayaan tertentu, misalnya mengimpor pangan. Jika negara mengalami defisit neraca berjalan terus-menerus dan membiayai defisit itu dengan utang luar negeri, maka gejolak kecil dapat berdampak negara kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atas barang terkait.

Jangan salah sangka. Sebelum krisis 1997 meledak, ekonomi Indonesia itu baik-baik saja. Lebih baik dari kondisi sekarang ini. Pada triwulan pertama 1997, kinerja makroekonomi Indonesia secara fundamental kuat. Pertumbuhan ekonomi bagus, inflasi rendah, defisit anggaran rendah, pertumbuhan ekspor positif, akumulasi cadangan devisa stabil. Kondisi minus-nya hanya defisit transaksi berjalan yang meningkat dan yang paling parah adalah meningkatnya ketergantungan pada dana asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun