Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Amien Rais Ada Benarnya, Hanya Salah Niat dan Sasaran

21 Maret 2018   05:46 Diperbarui: 21 Maret 2018   16:12 3759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari Kompas.com

"Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?" Pernyataan Pak Amien Rais serentak mengawali polemik baru. Publik dan politisi terbelah. Masing-masing membela junjungannya. Sialnya orang jadi melupakan hakikat, konten sejati dari pernyataan itu.

Sebagai orang sok bijak, dan kebetulan sedang butuh ide untuk dituliskan, saya mencoba meningkatkan polemik ini menjadi lebih berkualitas.

Ada dua kenyataan, objek, peristiwa dalam pernyataan Pak Amien. Pertama soal program bagi-bagi sertifikat Pak Jokowi. Kedua soal ketimpangan penguasaan sumber daya ekonomi (dan distribusinya), 74 persen dimiliki kelompok tertentu. Sayangnya, ketika Pak Amien coba menghubungkan dua peristiwa ini, ia memilih diksi yang salah. Seolah-olah program sertifikasi lahan rakyat adalah upaya Pemerintahan Jokowi untuk menutup-nutupi ketimpangan penguasaan sumber daya ekonomi.

Sekarang, kita lihat satu persatu.

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa cita-cita kesejahteraan yang berkeadilan masih jauh panggang dari api. Mayoritas sumber daya ekonomi, termasuk lahan masih berada di tangan segelintir (minoritas) elit bisnis. 

Dampaknya di hilir tingkat kesejahteraan juga sungguh jomplang. Lembaga-lembaga berupa LSM seperti Konsorsium Pembaharuan Agraria, Sawit Watch, atau serikat petani seperti Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Petani Indonesia, Agra, atau aktivis gerakan politik seperti Partai Rakyat Demokratik, hingga lembaga riset seperti Indef, sudah sering menyatakan hal ini. Bahkan semasa kampanye dahulu, Pasangan Jokowi-JK juga melihatnya sebagai problem bangsa yang wajib dituntaskan.

Ketimpangan agraria ini adalah warisan masa Kolonial Belanda. Selain melanjutkan ketimpangan tenurial nusantara yang memang feodal –-sebagaimana di manapun peradaban feodal di kolong langit ini--, pemerintah colonial Belanda memperparah kondisi ini dengan liberalisasi yang memberikan konsesi penguasaan lahan kepada pemodal swasta selama 45 tahun (masa Rafles, 1811), menjadi 75 tahun seusai masa tanam paksa (1870).

Ketika merdeka, Pemerintahan Soekarno mengeluarkan UU Pokok Pembaruan Agraria (UUPA 5/1960) untuk menggantikan UU agraria kolonial (Agrarishe Wet 1870) dan menciptakan keadilan penguasaan sumber daya agraria.

Sialnya, UUPA menjadi pokok sengketa antara kaum tani dan para tuan tanah yang selanjutnya berkembang menjadi konflik antara Partai Komunis Indonesia dengan kalangan pesantren.

Sedikit selingan, saya penasaran, karena para politisi PAN demi membela Pak Amien Rais kini menggangkat soal reforma agraria (yang sekian lama diidentikan dengan program PKI) kira-kira kapan Kivlan Zen dan Pak Amien Rais akan berteriak “Hati-hati PKI hendak bangkit lagi, program reforma agraria adalah buktinya.” Akan lucu rasanya melihat telunjuk dibelokan ke diri sendiri. Heeeh. Para politicker memang sering absurd.

OK, kita kembali.

UUPA tidak bisa dilaksanakan karena diinterupsi masa kekuasaan Orde Baru. Pemerintahan Soeharto memperparah ketidakadilan penguasaan sumber daya agraria dengan menerbitkan undang-undang pertamanya, UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU ini memberikan Hak Guna Usaha 25 tahun kepada perusahaan asing.

UU PMA Orde Baru ini digodok oleh para penasihat utama Soeharto di bidang ekonomi, salah satunya adalah ayahanda Pak Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo. Pak Sumitro adalah gembong dari grup penganjur liberalisasi ekonomi Indonesia yang dikenal dengan julukan Mafia Barkeley. Menarik bahwa kritik terhadap liberalisasi ekonomi ini justru kini jadi bahan utama kampanye Pak Prabowo. Ahhh, politik Indonesia sungguh absurd.

Di akhir masa kekuasaannya, Pak Harto, ayahanda Tommy Soeharto (narapidana kasus penembakan hakim agung) ini mengeluarkan PP No. 40 Tahun 1996 untuk memperpanjang masa HGU menjadi 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi 25 tahun.

Liberalisasi penguasaan lahan oleh pemodal menjadi-jadi di era SBY. Masa pemerintahan SBY adalah era paling manja bagi pemodal asing dalam menguasai lahan. Undang-Undang 25/2007 membolehkan pemodal asing memperoleh HGU hingga 95 tahun (2 kali 35 tahun perpanjangan di muka dan boleh diperbaharui lagi untuk 35 tahun berikutnya).

Jadi, kalau Pak Amien Rais mengkritik ketimpangan tata kuasa agraria, seharusnya kalimatnya tidak dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah di era Jokowi-lah semua ini terjadi. Akan lebih bagus jika ia mengkritik Pak Jokowi karena kurang tampak upaya sungguh-sungguh untuk membalik kondisi ketimpangan agraria yang dihasilkan pemerintahan demi pemerintahan sebelumnya.

Oh ya, agar tidak lupa. Ketika UU 25/2007 diterbitkan, PAN, partai yang didirikan dan di bawah kendali Pak Amien Rais adalah partai pemerintah.

Sekarang kita membahas soal bagi-bagi sertifikat.

Di era pemerintahan Pak SBY, saya adalah salah satu dari dua orang NTT yang menjadi peserta workshop Tenaga Penggerak Reforma Agraria. Kami terlibat dalam forum di mana Pak Joyo Winoto, Kepala BPN saat itu menyampaikan program reforma agraria BPN. Pak Joyo adalah promotor doktor Pak SBY di IPB. Abaikan soal ia turut diperiksa KPK (sebagai saksi terkait penerbitan sertifikat) dalam kasus hambalang.

Dalam forum itu, saya minta penjelasan BPN terkait program sertifikasi lahan sebagai bagian dari reforma agraria yang berpotensi berdampak sebaliknya, membuka keran pasar tanah.

Logikanya sederhana saja. Dengan program sertifikasi, status kepemilikan tanah menjadi pasti. Keuntungannya, petani dapat mengakses kredit di bank dan risiko lahan mereka diambil alih dengan cara curang oleh pemodal dengan back-upaparat keamanan (sebagaimana lazim terjadi) akan lebih kecil. 

Tetapi dengan adanya sertifikat, alih-milik melalui jual-beli yang legal akan meningkat. Pengusaha lebih senang membeli lahan bersertifikat. Dampaknya, sertifikasi lahan sebagai bagian dari reforma agraria tidak memperbaiki tata kuasa tenurial.

Pak Joyo menjawab bahwa program land reform BPN meliputi asset reform dan access reform. Asset reform memberi legalitas penguasaan petani atas lahannnya. Sementara access reform memberikan petani akses modal untuk membiayai usaha pertaniannya. Jawaban Pak Joyo itu diperkuat dengan contoh konkrit, best practice yang dilakukan oleh Kepala BPN Solo. Saat itu Pak Jokowi masih Walikota Solo.

Pemerintahan SBY memang melakukan redistribusi lahan dan memberikan sertifikat gratis kepada rakyat miskin. Pada 2010 silam misalnya, SBY menyerahkan 1.533.000 sertifikat tanah prona kepada rakyat di seluruh Indonesia dan meredistribusi 142.159 hektar lahan di 389 desa di 21 provinsi kepada rakyat miskin.

Tetapi di saat yang bersamaan, era SBY adalah juga masa dengan konflik agraria tertinggi di era pascareformasi. KPA mencatat selama satu dekade kepemimpinan SBY, ada 1.520 konflik agraria dengan luas areal konflik 6,5 juta hektar yang melibatkan 977.103 KK.(1) Dalam konflik itu, aparat militer dan sipil (polisi) sering merepresi rakyat dengan kekerasan. Peningkatan konflik agraria di era SBY ini juga dinyatakan Komnas HAM.(2) Sekali lagi jangan lupa, partai Pak Amien Rais, PAN adalah bagian dari penguasa saat itu.

Dalam Pilpres 2014, Paslon Jokowi-JK menjanjikan reforma agraria seperti dalam format BPN era SBY: asset dan access reform.

“Komitmen kami untuk implementasi reforma agrarian melalui; a) Akses dan Aset reform. Pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta ha, b) Meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0.3 hektar menjadi 2.0 hektar per KK tani, dan pembukaan 1 juta ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali. (4) Pembangunan Agri-Bisnis Kerakyatan melalui Pembangunan Bank Khusus untuk Pertanian, UMKM dan Koperasi.”

Demikian bunyi dokumen “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian.” Dokumen ini adalah versi lengkap visi-misi-program Jokowi-JK, proposal politik yang disodorkan kepada rakyat untuk memilihnya.

Ketika berkuasa, Jokowi-JK sudah menunjukkan gelagat memenuhi janji kampanye. Setidaknya ini tampak di tingkat perencanaan pembangunan. Reforma Agraria masuk sebagai prioritas nasional dalam RPJMN 2015-2015 dan dalam RKP 2017 (PP 45/2016).

Menurut rencana, pemerintah mengalokasikan lahan seluas 9 juta hektar untuk diredistribusikan kepada rakyat dan mengalokasikan 12,7 juga ha wilayah kelola hutan bagi rakyat di sekitar kawasan hutan.

Pada sisi kelembagaan, sudah pula dibentuk tim reforma agraria yang terdiri dari 3 kelompok kerja. Pokja I mengurus pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial, Pokja II bertanggung jawab atas legalisasi dan redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), dan Pokja III berperan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Tetapi di ranah eksekusi, program reforma agraria Jokowi masih jauh dari harapan. Wajah reforma agraria di tataran implementasi masih serupa di era SBY, lebih dominan di soal sertifikasi lahan non-TORA. Pada 2017, dari 5,2 juta ha lahan yang telah diukur BPN, sebanyak 4,2 juta ha telah disertifikat.

Sementara dari 12,7 juta ha target kawasan hutan sosial, Pokja I baru mendistribusikan 1,08 juta ha untuk dikelola rakyat. Dari target 4,1 juta ha kawasan hutan yang akan diredistribusi, baru 750 ribu ha yang sudah jadi milik rakyat.(3)

Seperti di era SBY, masa Jokowi juga tak bebas dari konflik agraria antara rakyat dan pemodal. Sepanjang 2015-2016, ada setidaknya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1,66 juta ha yang mengorbankan sekitar 195 ribu KK petani. Dalam konflik itu, sekitar 455 petani dikriminalisasi dan ditahan, 229 petani mengalami kekerasan dan ditembak, serta 18 orang tewas. (4)

Dalam 3 tahun pemerintahannya, Pak Jokowi telah mulai memenuhi janji reforma agraria, meski terkesan lambat dan belum mengubah ketimpangan tata kuasa lahan sebagai sumber daya ekonomi. Lahan produktif mayoritas masih dikuasai grup bisnis seperti Sinar Mas Group, korporasi tambang dan pariwisata, dan BUMN seperti Perhutani. Usaha-usaha pertanian rakyat belum cukup berkembang oleh terbatasnya penguasaan lahan, termasuk akibat berkonflik dengan HGU yang dikuasai modal swasta.

Tetapi pemerintahan manapun, selama ia terpilih lewat proses demokrasi prosedural yang konstitusional akan selalu dibatasi ruang geraknya oleh hukum dan regulasi. Demikianlah negara ini berjalan. Peran agency akan selalu berhadapan dengan barrier struktur.

Akan lain soalnya jika pemerintahan Jokowi terbentuk oleh revolusi. Hanya pemerintahan yang demikian yang dapat melangkahi berbagai regulasi dari masa sebelumnya sepanjang itu dinilai bertentangan dengan cita-cita revolusi. Tetapi tidak selalu juga demikian. Pemerintahan Soekarno yang merupakan capaian revolusi Agustus 45 pun terkendala struktur pemerintahan warisan Kolonial. Mungkin Anda masih ingat peristiwa tiga daerah (Tegal-Brebes-Pemalang) di awal kemerdekaan dulu. Itu revolusi sosial yang sempat terjadi oleh karena ketidaksabaran rakyat menghadapi masih dipertahankannya birokrat Kolonial yang korup setelah kemerdekaan. 

Karena pemerintahan Jokowi terbentuk oleh proses normal demokrasi yang konstitusional, kita perlu adil juga untuk memahami bagaimana kelembagaan dan perundang-undangan membatasinya. Jangan lupa juga mempertimbangkan konstelasi agency dalam lembaga-lembaga negara yang berperan exercise power of the state.

Memahami bukan berarti berhenti mendesak Pak Jokowi untuk sungguh-sungguh mewujudkan janji kampanye dan mengkritik kecendrungan penyimpangan janji nawacita. Tidak juga mengabaikan kemungkinan mendukung calon alternatif dalam Pilpres 2019 nanti. Tetapi apa iya ada capres alternatif nanti?

Oh iya. Empat paragraph terakhir bukan untuk Pak Amien dan pendukungnya. Itu hanya sedikit sumbangan bagi yang mau menerima pendekatan  Strategic-Relationalsebagai jembatan antara pendekatan instrumentalis dan strukturalis dalam melihat peran negara.

Kalau soal kritikan Pak Amien, menurut saya sebaiknya teman-teman PAN tidak perlu membingkainya dalam konteks reforma agraria. Sebab jika pemerintahan Jokowi menjalankan reformasi agraria dengan sungguh-sungguh, saya duga Pak Amien akan jadi orang pertama (di samping Pak Kivlan, Pak Fadli dan Pak Rizieq) yang berteriak, “Liatlah, PKI bangkit lagi. Mereka mau menciptakan keadilan penguasaan lahan bagi rakyat!”

Sebagian isi pernyataan Pak Amien benar. Tetapi tampaknya ia lahir dari niat semata-mata terkait kepentingan 2019. Itu sebabnya pernyataan ini menjadi salah sasaran.”

***

Tilaria Padika

20/03/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun