Eh, sekedar intermezzo soal anak di ruang publik. Anak saya kecewa ketika menghadiri acara Jokowi di Museum Te Papa, Wellington tadi (19/30). Dia pikir anak-anak akan diberikan kesempatan bertanya kepada presiden. Eh, rupanya itu acara khusus orang besar. Anak-anak dicuekin. Kepada emaknya dia berkomentar, "Â I wasn't really happy in there. They didn't make people participate. Just saw..what for? especially for kids like me. They didn't count children."
Saat ini tuntutan hak-hak reproduksi, seperti tempat penitipan anak, dan lain-lain sebagaimana dalam rumusan program itu kian mendesak untuk dipenuhi, terutama bagi rumah tangga kelas pekerja perkotaan. Suami-istri harus bekerja. Dengan penghasilan terbatas, tidak mungkin harus membayar babysitter atau menitipkan pada jasa penitipan anak partikelir.
Pemenuhan hak reproduksi di Indonesia memang tertinggal. Perempuan pekerja hanya mendapatkan hak cuti 1,5 bulan untuk buruh (UU 13/2003) dan 3 bulan untuk PNS (PP 11/2017).
Sementara PAUD yang menyelenggarakan tempat penitipan anak (TPA) atau Day Care Centre (DCC) masih sangat terbatas, apalagi yang dikelola publik (dibiayai pemerintah). Menurut data Desember 2016, dari 3.000 unit TPP, hanya 77 lembaga yang didanai APBN, APBD I dan II. Selebihnya adalah milik swasta. (Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. Statistik Pendidikan Anak Usia Dini 2016/2017).
Kita pantas iri kepada kelas pekerja di Kuba, negara yang selalu dipuji UNICEF sebagai yang terbaik dalam perlindungan perempuan dan anak. Di negeri Fidel Castro dan Che Guavara itu, Maternity Law, UU yang diterbitkan pada 1974 memberikan hak cuti hamil dan melahirkan selama 18 minggu, termasuk 12 minggu setelah melahirkan kepada setiap perempuan pekerja.
Pada tahun 2003, Surat Keputusan (the Decree-Law) no. 234 memperluas waktu cuti perempuan pekerja hingga satu tahun. Keluarga pekerja juga diberikan opsi untuk berbagi peran. Pada semester kedua (setelah masa ASI ekslusif), hak cuti boleh diberikan kepada suami.
Setelah usia anak 1 tahun, keluarga pekerja di Kuba tidak perlu kuatir sebab sudah ada 1.078 TPA (untuk negara sekecil itu) yang buka dari jam 6 pagi hingga 7 malam. Semuanya diselenggarakan gratis oleh negara. (baca laporan UNICEF: Early Childhood Development in Cuba. Laporan terbitan 2016 ini bisa Om-Tante unduh di sini.)
Pemerintah Indonesia di era Jokowi tampaknya memiliki niat untuk memperbaiki pemenuhan hak reproduksi ini. Pada Januari 2015, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembesi pernah melemparkan wacana agar setiap instansi pemerintah (juga swasta) menyediakan day care center di kantor. (2) Sementara di era SBY, menteri BUMN Dahlan Iskan memperbolehkan perempuan di BUMN membawa serta anak ke tempat kerja.(3)
Belum lama ini, MenPAN menegaskan, suami PNS yang istrinya melahirkan berhak untuk cuti 1 bulan. Semoga langkah ini dapat diikuti oleh Menaker, Â dan ke depan pemenuhan hak-hak reproduksi warga negara menjadi lebih baik.
Well, pembicaraan kita rupanya mengalir dari emak-emak aktivis yang saat berjuang tidak melepaskan tanggungjawabnya kepada anak menuju ke persoalan pemenuhan hak-hak reproduksi. Tidak masalah. Dua hal ini berkaitan. Perempuan yang bertanggjawab terhadap anak adalah bukan yang semata-mata sayang anak sendiri, tetapi yang memperjuangkan perlindungan negara yang lebih baik terhadap hak tumbuh kembang anak bangsa.