Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Emak-Emak" Aktivis Tak Hilang Cinta pada Anak

20 Maret 2018   06:30 Diperbarui: 20 Maret 2018   08:37 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivis API Kartini dalam kongres. Pimpin sidang sampil pangku anak. Foto: Minaria Christyn

Selama ini banyak yang salah kaprah, menyangka perempuan aktivis itu abai dari tanggungjawab terhadap anak. Rupanya sterotipe yang dipropagandakan para pendukung adat dan paham tua berhasil melekat erat di kepala kita. Seolah-olah demi kemandirian terjaga, para perempuan aktivis memandang anak dan rumah tangga sebagai beban.

Salah kaprah ini akan luruh jika Om-Tante menyaksikan bagaimana para perempuan aktivis ini berkongres.

Aksi Perempuan Indonesia Kartini atau API Kartini adalah organisasi massa perempuan yang terhitung belia usia. Ia lahir sebagai keputusan Konferensi Nasional Perempuan Indonesia pada Desember 2014 silam.

Ketika itu ratusan perempuan aktivis dari 16 provinsi dan 32 kota berkonferensi di Wisma PKBI, Jakarta selatan. Mereka berlatar belakang beragam organisasi sektoral. Ada yang aktivis mahasiswa, ada pengurus serikat buruh, organisator serikat tani, akademisi, penggiat posyandu, politisi, jurnalis, pengurus koperasi, pekerja seni, hingga ibu rumah tangga. Pokoknya perempuan aktivis dari rupa-rupa medan juang.

Para perempuan aktivis ini merasa sudah saatnya sebuah organisasi massa perempuan didirikan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.  Mereka memandang perkumpulan-perkumpulan perempuan yang ada saat ini belum dapat mewadahi gagasan-gagasan mereka.

Mereka butuh alat perjuangan yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan sektoral perempuan tetapi juga demokrasi dan kesejahteraan rakyat secara umum. Mereka yakin demokrasi dan kesejahteraan tidak akan paripurna tanpa pembebasan kaum perempuan, sebaliknya perempuan tidak akan pernah merdeka tanpa demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan.

Setelah empat tahun berkiprah, API Kartini akhirnya berkongres untuk pertama kalinya. Pada 8-10 Maret 2018 lalu sekitar 300 utusan pengurus API Kartini dari berbagai kota kembali bertemu di Wisma PKBI.

Ada hal yang sungguh menarik dari pelaksaan kongres itu. Saya melihatnya pada foto-foto yang dikirimkan Ketua Umum pertama API Kartini, Minaria Christin. 

Bunda Minar adalah perempuan aktivis, mamah muda asal Medan. Ia baru saja digantikan pada kongres ini. Terpilih sebagai ketua baru adalah Diana Mondong dari Minahasa, yang dalam kepengurusan sebelumnya menjabat Sekjend. Kebetulan di dunia nyata saya kenal  suami Minar, Om Dominggus Octavianus, seorang aktivis kelahiran Timor, NTT yang sudah 10 tahun ini --jika saya tak salah ingat-- menjadi Sekjend Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Emak-emak aktivis API Kartini berkongres bersama anak mereka. Foto: Minaria Christyn
Emak-emak aktivis API Kartini berkongres bersama anak mereka. Foto: Minaria Christyn
Foto emak-emak aktivis memimpin sidang sambil pangku anak yang masih balita itu begitu memukau saya. Luar biasa perempuan-perempuan pemberani ini. Kehadiran anak-anak itu, dengan segala kerepotannya tidak dipandang sebagai gangguan dalam berkongres.

Entah disengaja atau tidak, foto-foto itu seolah-olah sebuah gelar seni pentas yang meneriakkan sikap bahwa membesarkan anak bukan urusan domestik, privat. Ia adalah urusan publik.

Eh, sekedar intermezzo soal anak di ruang publik. Anak saya kecewa ketika menghadiri acara Jokowi di Museum Te Papa, Wellington tadi (19/30). Dia pikir anak-anak akan diberikan kesempatan bertanya kepada presiden. Eh, rupanya itu acara khusus orang besar. Anak-anak dicuekin. Kepada emaknya dia berkomentar, " I wasn't really happy in there. They didn't make people participate. Just saw..what for? especially for kids like me. They didn't count children."

Anak saya di tengah acara pertemuan dengan Pres. Jokowi di Museum Te Papa, Wellington, NZ. Ia kecewa karena anak-anak tidak diberi ruang dialog.Dokpri.
Anak saya di tengah acara pertemuan dengan Pres. Jokowi di Museum Te Papa, Wellington, NZ. Ia kecewa karena anak-anak tidak diberi ruang dialog.Dokpri.
Baiklah, kembali ke pokok pembahasan kita. Saya lantas tergoda untuk mencari tahu lebih banyak bagaimana para perempuan ini memperjuangkan  urusan pengasuhan anak di ranah publik. Rupanya salah satu dari 14 program tuntutan mereka adalah "Penuhi hak-hak reproduksi perempuan, seperti: tempat penitipan anak, tempat menyusui, cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, dll."(1) Ini adalah tuntutan yang sudah lama disuarakan para aktivis perempuan di berbagai negara, setidaknya sejak dekade kedua 1900an (jika saya tak salah ingat).

Saat ini tuntutan hak-hak reproduksi, seperti tempat penitipan anak, dan lain-lain sebagaimana dalam rumusan program itu kian mendesak untuk dipenuhi, terutama bagi rumah tangga kelas pekerja perkotaan. Suami-istri harus bekerja. Dengan penghasilan terbatas, tidak mungkin harus membayar babysitter atau menitipkan pada jasa penitipan anak partikelir.

Pemenuhan hak reproduksi di Indonesia memang tertinggal. Perempuan pekerja hanya mendapatkan hak cuti 1,5 bulan untuk buruh (UU 13/2003) dan 3 bulan untuk PNS (PP 11/2017).

Sementara PAUD yang menyelenggarakan tempat penitipan anak (TPA) atau Day Care Centre (DCC) masih sangat terbatas, apalagi yang dikelola publik (dibiayai pemerintah). Menurut data Desember 2016, dari 3.000 unit TPP, hanya 77 lembaga yang didanai APBN, APBD I dan II. Selebihnya adalah milik swasta. (Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. Statistik Pendidikan Anak Usia Dini 2016/2017).

Kita pantas iri kepada kelas pekerja di Kuba, negara yang selalu dipuji UNICEF sebagai yang terbaik dalam perlindungan perempuan dan anak. Di negeri Fidel Castro dan Che Guavara itu, Maternity Law, UU yang diterbitkan pada 1974 memberikan hak cuti hamil dan melahirkan selama 18 minggu, termasuk 12 minggu setelah melahirkan kepada setiap perempuan pekerja.

Pada tahun 2003, Surat Keputusan (the Decree-Law) no. 234 memperluas waktu cuti perempuan pekerja hingga satu tahun. Keluarga pekerja juga diberikan opsi untuk berbagi peran. Pada semester kedua (setelah masa ASI ekslusif), hak cuti boleh diberikan kepada suami.

Setelah usia anak 1 tahun, keluarga pekerja di Kuba tidak perlu kuatir sebab sudah ada 1.078 TPA (untuk negara sekecil itu) yang buka dari jam 6 pagi hingga 7 malam. Semuanya diselenggarakan gratis oleh negara. (baca laporan UNICEF: Early Childhood Development in Cuba. Laporan terbitan 2016 ini bisa Om-Tante unduh di sini.)

Pemerintah Indonesia di era Jokowi tampaknya memiliki niat untuk memperbaiki pemenuhan hak reproduksi ini. Pada Januari 2015, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembesi pernah melemparkan wacana agar setiap instansi pemerintah (juga swasta) menyediakan day care center di kantor. (2) Sementara di era SBY, menteri BUMN Dahlan Iskan memperbolehkan perempuan di BUMN membawa serta anak ke tempat kerja.(3)

Belum lama ini, MenPAN menegaskan, suami PNS yang istrinya melahirkan berhak untuk cuti 1 bulan. Semoga langkah ini dapat diikuti oleh Menaker,  dan ke depan pemenuhan hak-hak reproduksi warga negara menjadi lebih baik.

Well, pembicaraan kita rupanya mengalir dari emak-emak aktivis yang saat berjuang tidak melepaskan tanggungjawabnya kepada anak menuju ke persoalan pemenuhan hak-hak reproduksi. Tidak masalah. Dua hal ini berkaitan. Perempuan yang bertanggjawab terhadap anak adalah bukan yang semata-mata sayang anak sendiri, tetapi yang memperjuangkan perlindungan negara yang lebih baik terhadap hak tumbuh kembang anak bangsa.

Tabik

***

Tilaria Padika

19/03/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun