Sebagian besar warganet peminat isu politik tentu mengikuti perang pernyataan Nazaruddin melawan Fahri Hamzah. Babak baru pertempuran dua biang-warta ini bermula ketika Nazaruddin mengklaim memiliki bukti korupsi Fahri dan akan melaporkannya kepada KPK.
"Saya akan segera menyerahkan berkas ke KPK tentang korupsi yang dilakukan Fahri Hamzah. ... Insya Allah bukti yang akan saya serahkan ini cukup untuk membuat Fahri jadi tersangka." (1)
Diserang begitu, Fahri meradang. Tetapi mungkin karena belum jelas kasus korupsi yang mana yang hendak dibongkar Nazaruddin, Fahri tidak bisa menguraikan argumentasi ketidakterlibatannya. Selain sekadar pernyataan bahwa ia orang bersih dan tidak pernah terlibat urusan duit, Fahri lebih memilih menyerang balik. Ia menunjukkan --tanpa memaparkan terang substansinya-- beragam kasus korupsi lain yang melibatkan Nazaruddin dan komplotannya tetapi hingga kini belum diusut atau telah diusut, tetapi Nazaruddin tidak tersentuh. Lebih jauh, serangan balik Fahri menyeret pula KPK sebagai konspirator Nazaruddin, plus kelompok yang disebut sebagai pemain lama.
"... persekongkolan Nazar dengan KPK ini telah menjadi problem keamanan nasional. Itu lah sebabnya, dengan kesimpulan pansus angket berakhir, maka Komisi 3 dan Komisi 1 selayaknya menimbang persoalan ini sebagai persoalan keamanan nasional yang serius." (2)
Perang pernyataan dan ancam saling bongkar korupsi antara Nazaruddin dan Fahri ini bagi saya merupakan contoh lain prisoner's dilemma.
Nazaruddin adalah justice collaborator KPK. Demi insentif pemotongan masa hukuman dan mungkin penundaan penuntutan sejumlah kasusnya, Nazaruddin membocorkan kasus-kasus dan dugaan keterlibatan aktor-aktor lain, baik dalam kasus dimana ia sendiri terlibat atau pada kasus yang mungkin sekedar ia tahu.
Fahri boleh-boleh saja memprotes justice collaborator ini sebagai skandal penegakan hukum. Tetapi Fahri suka atau tidak, justice collaborator adalah legal. UU Perlindungan Saksi Korban (Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 tahun 2006) mengatur hal ini.
Fahri tentu paham benar soal legalitas justice collaborator ini. Pada Senin, 7 Februari 2011 lampau, adalah Fahri yang memimpin Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan LPSK yang salah satu kesimpulan atau rekomendasinya "LPSK untuk melakukan percepatan pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan menjadi agenda prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2011." (3)
Memang bukan kali ini saja Fahri menunjukkan ketidaksukaannya pada mekanisme justice collaborator. Waktu Novanto mengajukan diri sebagai JC-pun, Fahri kurang senang. "Sekarang dia (KPK) mau membesar-besarkan seolah-olah dari Setya Novanto itu mengalir uang ke mana-mana," katanya. (4)
Tetapi Fahri tidak bisa pungkiri bahwa oleh praktikjustice collaborator inilah banyak kasus korupsi besar terbongkar. Dari Andi Narogong, Novanto akhirnya jadi tersangka kasus e-KTP. Dari Damayanti Wisnu Putranti(PDIP), para penerima suap lain di Komisi V DPR RI seperti Budi Supriyanto (Golkar), Andi Taufan Tiro (PAN), Yudi Widiana (PKS), dan Musa Zainudin (PKB) dapat digelandang ke penjara.
Fahri sadar bahwa serangan balasannya dengan membocorkan kasus-kasus korupsi lain yang melibatkan Nazaruddin tidak akan mempan jika dilaporkan ke KPK. Bukan karena KPK terlibat di dalam persekongkolan jahat dengan Nazaruddin sebagaimana yang ia lontarkan, tetapi karena Fahri paham bahwa atas jasanya sebagai justice collaborator KPK, Nazaruddin berhak atas peringanan hukuman atau bahkan penundaan pengusutan sejumlah kasus yang dituduhkan kepadanya.
Karena itu Fahri berusaha menarik simpati Polri. Ia berharap Polri tertarik untuk menindaklanjuti laporan yang akan disampaikannya. Jika taktik itu berhasil, Fahri akan menjadi whistle blower Polri, dan dengan itu ia berharap bisa mendapat sejumlah konsesi hukum. Sebagaimana justice collaborator, Undang-undang dan Surat Edaran MA (Nomor 4 Tahun 2011) juga mengatur insentif hukum bagi whistle blower.
Baik "jurus mabuk" Nazaruddin (justice collaborator KPK) pun "tapak sakti" Fahri Hamzah (berharap jadi whistle blower Polri) sebenarnya jurus yang sama dari dua perguruan bersepupuan. Keduanya berharap hasil yang optimum dari pilihan saling serang itu, namun tanpa sadar telah terperangkap dalam prisoner's dilemma. Dari saling bongkar kasus antara keduanya, KPK, Polri dan publik mendapat informasi gratis untuk dikembangkan lebih lanjut. Well, selamat buat Bapak berdua.
Wajah DPR: lu diem, gue diem
Perang pernyataan antara Fahri dan Nazaruddin membuat publik semakin yakin dengan dugaan --jika tidak mau dikatakan membuka kotak pandora-- perilaku anggota DPR yang tahu sama tahu tetapi saling menutupi praktik korupsi dan suap di antara mereka. Tahu sama tahu telah menjadi mekanisme 'saling kunci kartu', perekat persatuan korps di antara anggota DPR.
Inilah kesan yang tidak terhindarkan terhadap kenyataan bahwa baru sekarang Nazaruddin mau membeberkan dugaan korupsi Fahri, dan baru kini Fahri menyatakan kesungguhannya untuk melaporkan kasus-kasus lain yang melibatkan Nazaruddin.
Jadi selama lu diem, gue diem. Lu buka kartu gue, gue pampangin kartu lu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H