Karena itu Fahri berusaha menarik simpati Polri. Ia berharap Polri tertarik untuk menindaklanjuti laporan yang akan disampaikannya. Jika taktik itu berhasil, Fahri akan menjadi whistle blower Polri, dan dengan itu ia berharap bisa mendapat sejumlah konsesi hukum. Sebagaimana justice collaborator, Undang-undang dan Surat Edaran MA (Nomor 4 Tahun 2011) juga mengatur insentif hukum bagi whistle blower.
Baik "jurus mabuk" Nazaruddin (justice collaborator KPK) pun "tapak sakti" Fahri Hamzah (berharap jadi whistle blower Polri) sebenarnya jurus yang sama dari dua perguruan bersepupuan. Keduanya berharap hasil yang optimum dari pilihan saling serang itu, namun tanpa sadar telah terperangkap dalam prisoner's dilemma. Dari saling bongkar kasus antara keduanya, KPK, Polri dan publik mendapat informasi gratis untuk dikembangkan lebih lanjut. Well, selamat buat Bapak berdua.
Wajah DPR: lu diem, gue diem
Perang pernyataan antara Fahri dan Nazaruddin membuat publik semakin yakin dengan dugaan --jika tidak mau dikatakan membuka kotak pandora-- perilaku anggota DPR yang tahu sama tahu tetapi saling menutupi praktik korupsi dan suap di antara mereka. Tahu sama tahu telah menjadi mekanisme 'saling kunci kartu', perekat persatuan korps di antara anggota DPR.
Inilah kesan yang tidak terhindarkan terhadap kenyataan bahwa baru sekarang Nazaruddin mau membeberkan dugaan korupsi Fahri, dan baru kini Fahri menyatakan kesungguhannya untuk melaporkan kasus-kasus lain yang melibatkan Nazaruddin.
Jadi selama lu diem, gue diem. Lu buka kartu gue, gue pampangin kartu lu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H