"Itu apa, Pak?"
"Ah, itu cuma uwi, Bu. Gadung-gadungan. Umbi-umbian rambat. Ada juga yang berbuah, lebih tepat umbi udara, seperti bulbifera. Di Jawa orang bilang gembolo, gembili. Di NTT ini namanya berbeda di tiap kabupaten. Ayo, Bu, duduk dulu."
Si ibu pun duduk. Raut wajahnya sudah berkurang angkuh lalu bercerita tentang bisnis dan hobinya pada tanaman bunga.
"Ini berkah bisa bertemu ibu. Saya bisa timba pengetahuan. Kebetulan saya sekarang sedang buat anakan Kurma, Bu. Saya bingung membedakan mana pokok jantan dan mana betina kalau anakannya masih kecil begini. Saya khawatir kalau ternyata betina semua. Buahnya akan kecut. Mungkin ibu bisa bantu."
"Aduh, saya kurang tahu itu, Pak. Coba Bapak budidaya Mangga saja. Itu lebih bagus," jawab si Ibu yang buat saya heran sendiri.
"Kalau Mangga orang kampung sini banyak juga yang tanam, Bu. Itu sudah tanaman nenek moyang." Saya kembali kesal.
Raut wajah si ibu dan kedua temannya mulai terlihat seperti orang biasa. Setelah menerima dan membayar hanya beberapa kilogram pepaya dan labu yang diserahkan staf kebun saya, ketiganya buru-buru pulang tanpa pamit yang memadai.
Ya, silahkan pergi. Semoga kalian dapat menimba sedikit hikmah tentang bagaimana beradat yang benar.
Untuk Anda, pembaca, pastikan sebelum tombo pecing (memamerkan pengetahuan), Anda terlebih dahulu pecing tombo (tahu adat bercerita). Juga, sebaiknya utamakan ceritakan apa yang Anda tahu, bukan atribut yang mewakili pengetahuan Anda, seperti gelar dan pekerjaan. Pengetahuan itu berkembang. Jika Anda kurang up to date lalu sudah pongah duluan, Anda akan malu sendiri jadinya.
"Siapa tadi itu, Yer?" Tanya saya pada staf kebun.
"Itu pengusaha yang beli tanah di depan. Mereka yang pakai excavator di depan itu. Mau digusur untuk kebun bunga. Pasti mereka tadi tidak tahu Boss."