"Mungkin yang Ibu maksudkan itu Red Lady, Bu. Yang saya tanam ini Calina."
"Oh, saya pikir Bapak tanam Pepaya California," katanya masih dengan ekspresi angkuh.
"Betul, Bu. California itu nama dagang dari Calina. Yang kembangkan justru dari kampus ibu di Bogor dulu. Aneh juga ya, ibu tak tahu. Memang aslinya dulu benih Calina dari pepaya yang menurut sejarahnya dibeli dari California, tetapi telah melalui proses pemuliaan selama  7 tahun. Di pasar, para pedagang benih seenaknya mengubah namanya jadi California."
Raut wajah si ibu mulai berubah.
"Kalau kami petani ini, Bu. Sebenarnya lebih aman membuat benih dari hasil panen pohon sendiri. Memang awalnya benih saya beli. Tetapi membeli benih bukan jaminan kualitas. Banyak juga yang menjual benih pepaya betina, bukan yang berkelamin lengkap. Coba itu lihat beberapa pohon di sana. Buahnya agak bundar kan, Bu. Bukan lonjong. Itu Calina juga, tetapi pohon berkelamin betina. Rasanya sih sama manisnya dengan yang lonjong dari pohon berkelamin lengkap, hanya saja di pasar harganya lebih rendah. Kami rugi. Nah, kalau buat sendiri benihnya, kita bisa lebih memastikan dapat buah berkelamin lengkap. Biji diambil dari bagian tengah buah lonjong pada pohon berkelamin lengkap," menahan jengkel saya coba menjelaskan.
"Saya tahu itu. Saya ini dosen fakultas pertanian dan juga pengusaha pertanian." Si ibu tak mau jatuh pamor.
"Iya, Bu. Berarti ibu kenal Dr. anu dan Dr. anu?" Saya menyebut beberapa ahli pertanian yang cukup populer.
"Oh, dulu itu sejawat saya."
"Kalau Dr. Anu ibu kenal pastinya." Saya menyebut wakil rektor di kampusnya yang juga ahli pertanian.
"Hmmmm, itu dosen saya," katanya.
"Begitu ya, Bu. Saya pernah membantu beliau dalam sebuah riset pemetaan tumbuhan dan tanaman pangan lokal di beberapa kabupaten. Beberapa waktu lalu saya pernah tawarkan dia untuk buat projek pro bono bareng di sini untuk taman Dioscorea. Yah, akan bagus kalau banyak ragam Dioscorea di NTT ini bisa dijaga kelestariannya," Saya terpaksa show off.