Senja yang lelah, bersemu wajahnya oleh malu, sebab lebih tampak ia sebagai putri kemayu daripada jawara perkasa yang bersinar-sinar silau. Pada petani yang berbungkus peluh mengering, bocah gembala bermata jenaka bertanya heran, "Mengapa Engkau bersenandung pada rerumputan lalu kautebaskan parang memotong rebah mereka? Mengapa Engkau berbisik-bisik kepada tanah lalu kauayunkan cangkul membacok pecah mereka?"
"Sebab mereka adalah saudara," jawab si petani.
"Bagaimana bisa Engkau bersaudara dengan rumput dan tanah? Apakah juga batu-batu, air, angin, burung, dan kayu?" Membelalak mata bocah gembala seperti sapi-sapi melihat kolam dan hijau rerumputan.
"Bukan cuma diriku. Dirimu pun bersaudara batu dan tanah, rumput dan ilalang, dan air, dan semut, dan kayu, dan semuanya yang dapat kaupandang dengan mata telanjang, juga dengan semua yang teramat kecil untuk bisa kaulihat."
"Bagaimana bisa begitu?" Â Bocah gembala terus saja mengejar.
"Sebab semua itu dan aku dan dirimu berihwal serupa, pada debu bintang bermula. We are from stardust."
"Tetapi bukan begitu kata kitab-kitab kuno."
"Kitab-kitab kuno menceritakan genesis dengan sastra."
"Mengapa sastra?"
"Sebab Tuhan sang Maha Penyair dan dengan sastra selembut-lembutnya kebenaran disampaikan, menunggu dipecahkan berabad-abad, cuil demi cuil."
"Baiklah jika itu menurutmu. Tetapi jika segala adalah saudara, mengapa kautebas rebah rerumputan dan kaupacul tanah hingga pecah berurai?"
"Kautahu mengapa pada genesis diceritakan akhirnya Tuhan beristirahat?"
"Sebab semua telah diciptakan."
"Tidak. Sebab sebagian debu-debu itu telah berkembang menjadi kompleks, menjadi berjiwa dan bernalar, menjadi manusia. Sejak itu Tuhan memiliki rekan kerja dalam menyempurnakan penciptaan."
"Jadi manusia adalah rekan kerja Allah?"
"Benar. Itu sebabnya semulia-mulianya manusia adalah mereka yang bekerja memuliakan kehidupan. Itu sebabnya aku mencangkul tanah dan membersihkan rumput-rumput agar dari rahim bumi tumbuhlah makanan untuk menghidupi orang-orang."
"Apakah menggembalakan sapi juga rekan Tuhan dalam melanjutkan penciptaan?"
"Semua yang memuliakan kehidupan adalah rekan Tuhan."
"Adakah pekerjaan yang tidak memuliakan kehidupan?"
"Pekerjaan yang tidak sungguh-sungguh bekerja, yang hanya merampas keringat orang demi menumpuk kekayaan, yang menjadikan kekayaan sebagai tujuan, menjadikan kekayaan sebagai sumber dari aliran kekayaan yang tak berhenti."
"Majikanku sesungguhnya bukan benar-benar peternak, tetapi ia memiliki sapi-sapi. Ia seorang pemilik Bank, lalu dari keuntungannya membeli pabrik-pabrik, kemudian dari keuntungannya menyewakan rumah-rumah, selanjutnya dari keuntungannya menguasai saham-saham, yang terus mengalirkan keuntungan,dan terus dialirkan kepada sumber-sumber keuntungan berikutnya. Apakah yang seperti itu maksudmu?"
"Entahlah. Kaupunya nalar untuk menilai sendiri, kan?"
Maka berlalulah si bocah penggembala. Seruling di ujung bibirnya menarikan nada-nana suka cita. "Biarlah langit bersukacita dan bumi bersorak sorai. Biarlah beria-ria padang dan segala yang ada di atasnya, Biar gemuruhlah laut serta segala isinya dan segala pohon di hutan bersorak-sorai."
Tetapi si petani ditangkap orang-orang. "Ia sudah pasti seorang Komunis," kata mereka.
***
Tilaria Padika
14112017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H