Kita tahu, konsumsi energi nasional masih didominasi oleh energi minyak [3] dan yang paling banyak menghabiskannya adalah sektor transportasi. Pada 2016 sektor transportasi di DKI Jakarta menghabiskan 99 persen dari total konsumsi energi di provinsi itu.[4] Â Jika melihat struktur konsumsi BBM yang belum berubah selama dekade ini, 88% dari konsumsi energi sektor transportasi nasional dihabiskan oleh angkutan jalan raya dan dari jumlah tersebut, 34% dihabiskan oleh kendaraan pribadi.[5]
Ridesharing juga berdampak positif bagi lingkungan kota yang lebih bersih dari pencemaran udara dan ikatan sosial masyarakat kota yang lebih kuat.
Komitmen Pemerintah
Apakah orang Jakarta dan Surabaya mau kendaraannya didaftarkan sebagai aset ridesharing? Berdasarakan study BCG, jawabannya Ya! Dari responden pemilik kendaraan di Jakarta dan Surabaya, sebanyak 27% di Jakarta dan 31% di Surabaya menyatakan mau banget, sementara 44% di Jakarta dan 45% di Surabaya menjawab mau-mau aja menjadi driver bagi mobil pribadinya yang di-ridesharing-kan.
Persoalannya kini berada di tangan pemerintah. Apakah pemerintah mau mengadopsi model-bisnis ini dan mewadahinya dengan regulasi atau pemerintah lebih memilih menyerah pada model-bisnis transportasi tradisional yang kebetulan memiliki kemampuan memobilisasi massa dalam aksi-aksi protes.
Jika saya pemangku kekuasaan Negara, Â saya akan menjawab: setiap kemajuan memiliki harga, yaitu dislokasi sosial-ekonomi dari kelompok-kelompok sosial dan pekerjaan dalam model-bisnis yang tidak mampu menjawab kian peliknya tantangan zaman. Langkah yang tepat bukan dengan menolak kemajuan tetapi memikirkan jalan keluar untuk menampung dislokasi yang terjadi.
Saya berharap kelak kaum lansia seperti Dr. K, mantan boss saya itu lebih berbahagia menikmati sisa masa produktifnya. Kelak lebih banyak penduduk ibu kota menjadi penulis sebab waktu yang harus mereka boroskan di balik setir di tengah kemacetan Jakarta tidak lagi selama sekarang.
***
Tilaria Padika
08112017