Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bobo Pengantar Dongeng dan Daya Imaji Kompasianer Ikhwanul

6 November 2017   15:47 Diperbarui: 6 November 2017   21:06 2689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku harus menciummu untuk mendapatkan semua itu?"

Lalu apa yang terjadi kemudian? Apakah Louna mencium kodok Qaqil? Tidak. Louna menjadikannya santapan yang nikmat.

Bukankah ini pesan yang mengingatkan kita betapa kaum perempuan sering kali mengorbankan kemerdekaan mereka, cita-cita mereka, cinta dari orang tua mereka hanya untuk terpenjara dalam rutinitas dapur-kasur-sumur? Maka betapa kejamnya mereka yang menambah penderitaan para istri dengan menduakan cinta, apalagi men-tigakan-nya.

Ada banyak juga sindiran-sindiran ringan terhadap perilaku kita, seperti betapa mudahnya berganti gawai ("Mencari Pengganti Skippy") atau tentang keranjingan junk food yang berganjar penyakit jantung ("Musro dan Kopral Zonder").

Sisi menarik lain dari cerpen-cerpen Penyair Majenun adalah pada selera humor yang dibangunnya dengan gaya slenge'an, menampilkan jukstaposisi seenaknya dari entitas lokal dengan kosmopolit dan yang  menyejarah dengan yang masa kini. Contohnya ketika Nuey ( "Bocah Angon yang Berteriak Musang") dihukum membersihkan masjid desa, menyikat wc umum terminal (sangat lokal) hingga mengecat tembok China (kosmopolit) atau burung robot bulbulbot versi 2.0 ("Nyanyian Bulbul") berisi koleksi lagu-lagu berformat mp3 (mutahir) yang dihadiahkan Jepang kepada Kaisar China (masa lampau).

Well, selain riang gembira, menuntaskan membaca Bobo Pengantar Dongeng menerbitkan kesadaran akan ketidakadilan literasi. Saya menuduh para penerbit major label dan raksasa jaringan distribusinya telah bertindak tidak adil terhadap Penyair Majenun, cerpen-cerpennya, dan tentu saja saya dan Anda sebagai pembaca.

Bagaimana bisa mereka enggan mengerling pada karya sebagus ini? Bagaimana bisa Penyair Majenun harus mengedit sendiri, mengatur tata letak sendiri, hingga memasarkan sendiri. Untunglah kita sudah mengenal Penyair Majenun dari cerpen-cerpennya di Kompasiana. Jika tidak ia harus menjadi penulis yang membaca sendiri pula karya-karyanya, dan kita kehilangan kesempatan menyegarkan nalar.***

***

Tilaria Padika

06112017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun