Tetapi jemari dan mata ini menolak perintah. Halaman demi halaman kembali dibuka. "Roh memang penurut, tetapi daging lemah," saya batinkan mantera agar kuat. Tak mempan. Jiwa saya tertawan untuk terus membaca.
Mungkin tak sampai sejam, entahlah, saya lupa waktu, ketika "televisi, kulkas, dan mesin cuci" menghentikan saya di halaman 142. Cerpen-cerpen Penyair Majenun memang coklat Whittaker's dan Bull Rush. Satu gigitan kaucoba, tak ada jalan pulang bagimu.
Anda boleh menuduh saya bombastis ketika menyetarakan daya imaji Penyair Majenun dengan Einstein. Bedanya Einstein mengerahkan imaji untuk membongkar rahasia semesta, sementara Penyair Majenun membatasi diri untuk menghibur pembaca dan diri sendiri tentu. Butuh tingkat kesaktian imajinasi level tertentu untuk menemukan kemungkinan penolakan sang putri terhadap permintaan katak untuk menciumnya; atau membayangkan Cinderella sebagai juru tenung yang pendendam dan kejam.
Dengan imajinasinya, Penyair Majenun menjungkirbalikan semua kenangan membatu tentang dongeng dan hikayat terkenal, menjadikannya lebih menarik dan menyegarkan. Membacanya bukan saja hatimu girang  dan penuh takjub seperti kanak-kanak diizinkan bermain hujan, tetapi juga mengingatkanmu pada sisi filosofis lain dari  eksperimen teoritis kucing Schrodinger.
Satu peristiwa memiliki banyak kemungkinan untuk bagaimana berakhir. Kita menerimanya sebagai kenyataan singular saat postfactum. Ketika peristiwa itu sedang dalam rangkaian proses menjadi, ia memiliki banyak kemungkinan akan bergerak ke mana.
"Kehidupan ini tidak seperti matematika. Kita tidak bisa memastikan bagaimana sebuah pilihan berkonsekuensi, seperti apa perubahan pada variabel akan berdampak di kemudian hari. Karena itu yang terpenting adalah optimisme," kata mantan guru Matematika SMP saya --yang kini pengajar di Universitas di pulau seberang-- dalam percakapan di kedai kopi malam tadi.
Salah satu kekuatan cerpen-cerpen Penyair Majenun adalah gaya bahasanya yang ringkas mengalir. Dengan sendirinya --tanpa refleksi panjang-- saya setarakan dengan kedewaan Putu Wijaya. Membaca daya imaji dalam cerpen-cerpen Penyair Majenun mengingatkan saya pada kondisi batin keterpukauan ketika berkenalan intens dengan cerpen-cerpen Sang Putu Wijaya di era akhir 90an.
Coba Anda ingat cerpen-cerpen Putu Wijaya, seperti tentang keluarga yang memperdebatkan cap apa pada kecap produksi mereka; tentang perempuan yang melulu mengoperasi hidungnya agar mendapat bentuk yang ideal dan akhirnya kembali ke bentuk asli tetapi sudah tak bisa lagi; atau tentang lelaki yang repot dengan trah-nya. Saya lupa judul-judulnya. Daya urai yang bening mengalir dan imaji dari cerpen-cerpen itu bisa kita temukan lawan tandingnya dalam karya-karya Penyair Majenun.
Mungkin yang membedakan Penyair Majenun dengan Sang Putu Wijaya adalah pada kewajiban menyisipkan pesan moral dalam kisahnya. Jika Putu Wijaya seperti memiliki kesadaran akan salib mewartakan moral dan kemanusiaan dalam karya-karyanya; penyair Majenun tampaknya merasa cukup sebagai terapis atas nalar kita yang kaku.
Tetapi bukan berarti tidak ada pesan moral penting dalam candaan canggih dan kreatif Penyair Majenun. Coba Anda baca cerpen "Versi Lain Kisah Putri dan Kodok." Perhatikan dialog antara Ninon-Louna Compte, sang putri kaya raya dan cantik jelita dengan si kodok jelmaan Qaqil Qenthiri --diri lain bos Kemang dan Planet Kentir itu  -- yang dikutuk Gina Ratu Jebel Uweinat al-Tomangi.
"Sebagai istri, Kamu akan menjadi ibu dari dua belas anak kita. Setiap hari Kamu akan menyiapkan makan, mencuci dan menyeterika pakaian, memijit kakiku jika aku lelah, mengantar anak-anak ke sekolah, membersihkan rumah, dan lain-lain yang biasa dilakukan seorang istri."