Kamis, 3 Oktober, 3 ilmuwan Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO): Weiss, Barish, dan Thorne meraih nobel fisika atas kerja keras mereka membuktikan keberadaan gelombang gravitasi, satu dari sekian prediksi Einstein tentang rahasia jagat raya dalam teori relativitas umum yang masyur itu.Â
Ramai sanjungan kepada ketiga ilmuwan itu, riuh puja-puji kepada alm. Einstein. Tetapi saya mengajak kita untuk sejenak mengenang Arthur Eddington, ilmuwan luar biasa yang meski tenggelam namanya, tidak main-main perannya dalam kesuksesan Einstein seabad lampau hingga Weiss, Barish, dan Thorne sekarang ini.
Jika dulu Eddington seorang cupet maka mungkin saja Einstein kini hanya nama biasa yang singgah sebentar di dalam kitab sejarah fisika dan atronomi, temaram lalu redup di balik parade bintang fisikawan-fisikawan besar, dan kita masih meraba-raba rahasia semesta dengan kacamata Newtonian.
Sekitar 1890an, Einstein muda pusing oleh perbedaan kesimpulan dari elektrodinamika Maxwell (fenomena gelombang elektromagnetik) dan Lorentz (tranformasi teori Maxwell) --yang diyakini Einstein, kecuali soal asumsi keberadaan Ether yang kemudian Einstein tolak-- dengan mekanika Newton (teori yang diterima umum saat itu). Einstein memutuskan untuk menyelesaikan kebingungan itu, mempelajari sungguh-sungguh, mendiskusikan dengan sejumlah sahabat fisikawan dan matematikawan.
Gempar. Pada 1905, Jurnal berbahasa Jerman, Annalen der Physik memublikasikan riset Einstein, "Zur Elektrodynamik bewegter Krper" -- disadur ke dalam bahasa Inggris sebagai "On the Electrodynamics of Moving Bodies." Bukan karya main-main! Ini tabuhan genderang perang yang menantang Newton dan kitab Philosophi Naturalis Principia Mathematica yang bertahta sejak 1687 (200an tahun). Teori Relativitas Khusus telah lahir.
Jika mau dibandingkan dengan peristiwa yang mirip-mirip, mungkin cocok jika disetarakan dengan perisitiwa di jagat filsafat 60 tahun sebelumnya, ketika Feuerbach mengeritik Hegel. Maksud saya dalam konteks kritikan yang jadi penanda berakhirnya suatu era: Fisika Newtonian dan Filsafat Hegelian. Hanya saja ini kasus beda nasip. Einstein berhasil dengan gemilang, sementara Feuerbach tersungkur oleh logikanya yang mekanik.
Tentu saja dunia geger. Einstein telah mencuri perhatian. Apalagi ia tidak berhenti di situ. Einstein tancap gas, segera membuka gelar perang baru, mengembangkan teori relativitas umum yang memadukan mekanika newton dengan relativitas khusus.
Pada 1914 perang dunia I meletus. Negara-negara imperialis merenegosiasi wilayah jajahan melalui adu bedil. Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia bersekutu dalam Blok Sentral melawan aliansi Inggris, Prancis, dan Rusia. Beberapa Negara (termasuk yang berstatus jajahan seperti Kanada) lalu turut terlibat. Afrika dan Asia hendak diundi lagi. Medan perang gelas pengocoknya, mesiu dan serdadu dadu-dadunya.
Ketika perang, pertempuran tidak hanya pecah di front fisik, tetapi juga pada klaim keunggulan bangsa di bidang budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam seni, Inggris punya Shakespeare, tetapi Jerman memiliki Goethe. Di filsafat, Jerman memiliki berderet-deret nama besar: Mller, Buber, Bauer, Otto, Hamann, Schmidt (Stirner), dan bahkan raksasa sekelas Kant, Hegel, dan Marx! Di sisi Inggris, Bacon, Hobbes, Moore, Tindal, Owen, Spencer, Stuart Mill, dan Locke masih kalah bulu.Â
Maka tentu saja Inggris ketar-ketir ketika Max Plank mengajak Einstein bernaung di bawah Kniglich-Preuische Akademie der Wissenschaften di Berlin. Pemerintah Jerman bersedia membiayai projek Einstein untuk menyelesaikan teori relativitas umum.Â
Motif utama Jerman adalah membuktikan Newton salah berarti mempermalukan Inggris. Einstein menerima tawaran itu dan pindah dari Swiss bukan karena setuju pada motif Jerman tetapi karena panggilannya sebagai akademisi, urun mengisi sekeping pada puzzle raya alam semesta.