"Entahlah. Kami tak tahu. Kata ibu, nenek mati di sini. Ia baru ia tahu setelah bertahun-tahun mencari, bertanya kesana-kemari."
"Pada hari ini? Kecelakaan mobil di jembatan ini kah?"
"Hmmm.. kata ibu bukan hari ini persisnya. Mungkin berbulan-bulan bahkan mungkin 1-2 tahun setelah hari yang kami peringati ini. Ibu tak tahu persis. Juga bukan kecelakaan. Ketika itu nenek dijemput dari rumah oleh banyak orang. Kata mereka karena nenek suka melatih perempuan-perempuan desa menjahit dan membuat aneka kue. Nenek juga mengajari anak-anak desa baca-tulis. Tetapi nenek memantik amarah banyak tokoh di kampung karena mengajak para perempuan itu menolak poligami. Sejak penjemputan itu nenek tidak pernah kembali ke rumah. Baru belasan tahun lalu ibu berani bertanya-tanya kabar nenek dan akhirnya membawa ibu ke tempat ini."
"Sudah berapa tahun nenekmu meninggal?"
"Sudah sekitar 50 tahun."
Lelaki tampan itu tertunduk. Ia melangkah ke tepi jembatan dan diam menatap sungai kering di bawah jembatan, seperti menangisi air yang tiada.
Cintya melangkah mendekati, diam sejenak lalu bertanya. "Kamu sendiri, mengapa kamu di sini"
Sang lelaki menarik napas panjang, melempar pandangan ke jauh perbukitan di depan sana ketika mulai bercerita.
"Kita semua dibawa oleh kenangan akan kematian ke tempat ini. Tetapi aku berbeda dari dirimu dan ibumu, dan orang-orang itu."
"Maksudmu?"
"Aku juga mengenang kematian kakek, juga kematian ayah. Kakek mati di jembatan ini. Ia bunuh diri sekitar 40 tahun lampau. Ayah mati sepuluh tahun lampu di rumah sakit jiwa tetapi masih ada hubungannya dengan jembatan ini."