Kami mungkin telah insyaf, sebab rambut yang memutih menambahkan malu pada hati kami. Tetapi kami terpaksa permisif kepada bocah-bocah itu, sebagaimana kami permisif pada segala bentuk kekerasan yang lebih teroganisasi, baik yang formil kami persenjatai dengan uang pajak dan kami legitimasi dengan undang-undang, atau terpaksa kami restui karena memekikan nama Tuhan sambil membacok orang.
Kami begitu permisif pada terror dan kekerasan. Ya, begitulah potret kotaku, dan kuyakin potret semua kota di Indonesia.
Kalian boleh menyangkalnya. Tak mengapa. Sebab menyangkal adalah juga keutamaan kita sebagai bangsa. Bila perlu ciptakan saja kisah versi manipulatifnya. Buatlah film lalu putarkan di kampung-kampung tentang kebaikan-kebaikan palsu kita. Kepalsuan yang disampaikan terus-menerus kelak akan diterima pula sebagai kebenaran. Maka kita menjadi bangsa yang baik-baik saja di dalam film dan kisah rekaan serta pidato para pejabat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H