Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pemudi dan Pemuda, Cermin Sisi Gelap Kotaku

23 September 2017   05:11 Diperbarui: 23 September 2017   18:52 2312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: kapanlagi.com

Pesta pernikahan di rumah tetangga baru saja usai. Bukan terbitnya mentari yang menghentikan, tetapi aksi saling lempar batu antar sesama penggembira. Pola Ini nyaris sempurna, hampir selalu terjadi.

Jika harus memilih tiga gambar yang jadi ikon kota, salah satu gambar saya akan berisi unsur-unsur: remaja lelaki dan perempuan berjoget dan sebagian duduk di remang-remang menenggak minuman keras, tenda pesta, mentari terbit, selusin speaker raksasa disusun bertingkat, dan dua kelompok remaja saling lempar batu. Jika disuruh melengkapi dengan bubble berisi ungkapan kata-kata seperti di komik, akan saya isi gelembung-gelembung itu dengan kata-kata "anj*ng, b*bi, bangs*t", dan padanan-padanannya.

Setiap ada tetangga punya hajatan, entah pernikahan putri, wisuda putra, ulang tahun cucu, kami akan menyambutnya dengan gembira. Tentu saja! Kegembiraan satu keluarga wajib juga merupakan kegembiraan tetangga sekompleks. Maka pada siang hingga senja hari kami beramai-ramai turut membantu. Para perempuan bergotong-royong memasak di dapur, dan para lekaki bahu-membahu mendirikan tenda pesta dan mengatur kursi-kursi.

Lalu, ketika malam tiba, terutama seusai santap malam pesta, ketika piring dan gelas telah bersih oleh mereka yang bertugas di dapur, kegembiraan segera berubah menjadi terror. Dentum musik terdengar hingga radius satu rukun tetangga, menggetarkan daun pintu dan jendela rumah sekampung, tanpa jeda hingga mentari terbit. Di penghujung, suara kokok ayam sahut-sahutan tenggelam oleh ramai saling caci dalam perkelahian para remaja.

Sepanjang malam, orang-orang dewasa yang waras terbaring tanpa mampu pejamkan mata. Seperti memindahkan ranjang ke tengah-tengah lantai diskotik rasanya. Ketika pagi tiba dan musik berhenti, jantung kami berdetak kencang, cemas dalam harapan semoga tak ada lemparan batu nyasar memecahkan jendela atau sekadar dentum mengejutkan pada atap rumah.

Sesekali tangis pecah di siang hari, atau setelah beberapa malam berlalu. Seorang pemuda mati ditikam dalam perkelahian oleh amarah yang tersisa dari ketersinggungan di pesta.

Jika disurvei, saya yakin mayoritas warga kota tidak menyukai hal ini. Tetapi sejatinya kami orang-orang lucu. Setiap hari selalu saja peristiwa berulang, entah di RT sebelah, kelurahan tetangga, atau sudut mana di kota ini. Pesta-pesta serupa diadakan dengan alur dan akhir yang sama.

Menyalahkan remaja-remaja itu? Ah, itu seperti mencaci burung beo.

Sejatinya mereka dulu kanak-kanak lucu. Pipi-pipi gembul merona merah dan mata-mata yang berbinar. Mereka hanya anak-anak cerdas yang belajar dengan baik. Menyerap segala sesuatu dari lingkungan tanpa filter. Mereka copy-paste sempurna diri kami, para orang tua, para generasi pendahulu.

Kanak-kanak lucu itu berubah menjadi zombie hanya karena jiwa lugu mereka meniru kami, role model, pahlawan-pahlawan mereka. Mereka memuja kekerasan sebab kami adalah contoh terbaik penyembah kekerasan.

Kami mungkin telah insyaf, sebab rambut yang memutih menambahkan malu pada hati kami. Tetapi kami terpaksa permisif kepada bocah-bocah itu, sebagaimana kami permisif pada segala bentuk kekerasan yang lebih teroganisasi, baik yang formil kami persenjatai dengan uang pajak dan kami legitimasi dengan undang-undang, atau terpaksa kami restui karena memekikan nama Tuhan sambil membacok orang.

Kami begitu permisif pada terror dan kekerasan. Ya, begitulah potret kotaku, dan kuyakin potret semua kota di Indonesia.

Kalian boleh menyangkalnya. Tak mengapa. Sebab menyangkal adalah juga keutamaan kita sebagai bangsa. Bila perlu ciptakan saja kisah versi manipulatifnya. Buatlah film lalu putarkan di kampung-kampung tentang kebaikan-kebaikan palsu kita. Kepalsuan yang disampaikan terus-menerus kelak akan diterima pula sebagai kebenaran. Maka kita menjadi bangsa yang baik-baik saja di dalam film dan kisah rekaan serta pidato para pejabat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun