Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cerpen| Demi Suara

13 Maret 2017   11:20 Diperbarui: 14 Maret 2017   00:02 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuan Kokoh gelisah bukan main. Sudah dua jam lamanya ia hanya mondar-mandir di beranda rumah yang terbentang panjang itu, mulai dari depan dan bersambung ke sisi samping rumah. Jika ingin bermain perumpamaan, gelisah hari-hari di bulan Maret adalah setepat-tepatnya mewakili suasana hatinya.

Betul, dalam hati Tuan Kokoh berkecamuk pertempuran dua musim, penghujan yang enggan menjadi masa lalu, dan kemarau yang memaksa hadir. Itu membuat dirinya sulit ditebak. Joko dan Yono, dua pengikut setianya kebingungan hendak berbuat apa. Mereka tak bisa menebak komentar yang cocok untuk disampaikan saat ini, apakah akan berbuah cerah pujian atau justru dihujani caci-maki Tuan Kokoh. Betul, seperti Maret yang membingungkan. Haruskah membawa jas hujan atau berlenggang kangkung menuju kondangan?

“Huh, jika saja Tuan Badar tidak melamar kita untuk menjadi wakilnya di dalam pemilihan Kepala Dusun mendatang, tentu persoalan ini tidak akan ada,” keluh Tuan Kokoh sambil memegang dagunya. Ia masih saja mondar-mandir dengan gelisah.

“Maaf Tuan, tetapi seberapa besar persoalan dan dampaknya jika Tuan hadir di dalam perayaan hari ulang tahun itu?” Yono sekali lagi memberanikan diri memancing jalan keluar.

“Heh, dengarkan, Yono, perayaan hari ulang tahun almarhum Tuan Tohar itu politis sifatnya. Anak-cucunya terus saja mencoba membangun wacana jika Tuan Tohar itu tokoh sepuh yang layak bertahta di hati warga. Jika kita hadir, kita melegitimasi itu.”

“Mengapa Tuan terlalu merisaukan itu?” Kini Joko bicara.

Braaaakkk!!!

Joko dan Yono kaget bukan main. Tuan Kokoh menggebrak meja jati di depan mereka. Tiga gelas kopi di atasnya terguling, menumpahkan isi yang sejak tadi belum tersentuh.

“Guoblok! Makanya sejak dulu sudah kukatakan pada kalian berdua. Sadar dirilah, kalau masih ingusan, banyak-banyaklah baca buku, baca sejarah, agar paham duduk soal segala sengketa.” Tuan Kokoh menatap marah pada kedua anak buah setia itu.

“Kalian tahu, Tuan Tohar itu semasa menjadi kades adalah diktatur yang sama kejamnya dengan Hitler, Mussolini, dan Hiroshi? Ia bahkan penggabungan ketiganya sekaligus. Kalian tahu, kelompok kitalah yang sekian lama menjadi korban penindasannya? Kalian tahu jika kelompok kita adalah salah satu yang paling depan berjuang untuk menumbangkannya?”

Joko dan Yono mengangguk tanpa berani mengangkat pandangan.

“Nah, kalian tahu itu. Lalu sekarang kita harus hadir di dalam perayaan hari ulang tahun itu? Apa itu namanya jika bukan pengkhianatan? Apa itu namanya jika bukan menjilat dahak sendiri?”

“Mohon izin bicara, Tuan.” Joko masih mencoba. “Tetapi kita butuh suara dari keluarga dan pengikut almarhum Tuan Tohar. Lawan kita juga pasti hadir di sana. Jika kita tak hadir, mereka akan mengkapitalisasi itu sebagai peluru untuk menyerang kita. Bukankah kita perlu sedikit pragmatis di dalam soal ini?”

“Kau bilang itu pragmatis, Anak muda? Aku bilang itu tak berprinsip.”

Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Bibi Gana, bukan orang dekat menyapanya Nyai Gegana, perempuan sepuh muncul dari dalam. Ia satu-satunya perempuan yang pernah menjadi kades di sini. Bukan saja Tuan Kokoh, bahkan seluruh warga desa segan padanya.

“Kokoh, bibi sudah pikirkan matang-matang selama dua jam ini. Bibi bahkan bersamadi, memohon petunjuk dari para pendiri bangsa. Menurut Bibi, seperti kata Joko tadi, kita perlu pragmatis dalam soal ini. Pergilah kau ke sana, hadiri saja acara itu. Kita butuh dukungan dari para pengikut almarhum Tuan Tohar.”

Tuan Kokoh ingin membantah, tetapi ia tidak memiliki nyali untuk itu. Lidahnya terasa membeku, meski kobar kesal di hati tidak padam.

“Bibi paham, dirimu tak ingin menodai perjuangan di masa lalu. Tetapi ada masa depan yang juga perlu kita siasati, pemilihan kepala dusun di akhir pekan ini.”

Tuan Kokoh merasa kalimat a la motivator itu hanya gelembung sabun tanpa makna, sekedar excuse atas tindakan mengobral prinsip. Tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menolak. “Baik, Nyai. Jika itu perintah Nyai, saya mohon diri untuk segera ke sana.”

***

Balai Gaharu, demikian orang desa menjuluki rumah joglo yang dihuni anak-cucu almarhum Tuan Tohar, sudah ramai oleh tetamu. Sebagian besar lelaki mengenakan jas, tetapi banyak juga yang memakai baju batik. Para perempuan berkebaya, rambut mereka disanggul tinggi seperti ketika perayaan Hari Kartini di masa lampau saat emansipasi perempuan ditafsirkan sebagai kuntilanak wangi, para nyonya rumah yang sibuk wara-wiri mendampingi suami mereka yang berjabatan tinggi dalam berbagai seremoni kenegaraan atau kunjungan dinas ke pelosok.

Sejak di gerbang masuk, Tuan Kokoh sudah berusaha melebarkan bibir agar tampak seolah sedang tersenyum. Benaknya sedang menyusun kalimat basa-basi untuk beramah tamah dengan tuan pesta, putri sulung Tuan Tohar, juga untuk berjaga-jaga jika tanpa diduga diminta menyampaikan sepatah kata dua nanti. Di belakangnya, Yono dan Joko mengekor dalam bisu.

Dua meter lagi Tuan Kokoh menginjak tangga depan rumah ketika tiba-tiba Bu Anisa, calon kepala dusun pesaing pasangan Badar-Kokoh menyambutnya di depan.

“Aha, Tuan Kokoh. Angin apa meniupkan Tuan kemari? Saya ingin sekali berbincang dengan Tuan. Sayangnya saat ini waktunya kurang tampan. Di sini kami sedang merayakan haul almarhum Tuan Tohar. Tuan datang seperti hujan bulan Juni, sungguh tak dinanti.” Kata Bu Anis sambil menyalami Tuan Kokoh.

“Maaf, Bu Anis, saya juga mendapat undangan.”

“Ah, soal itu kesalahanpahaman, Tuan. Rupanya undangan yang sampai kepada Tuan itu salah tulis dari panitia. Saya diminta tuan pesta untuk menyampaikannya pada Tuan. Demi kepentingan Tuan sendiri. Malu sekali rasanya jika tuan diminta pergi setelah berada di dalam.”

“Baiklah jika begitu, Bu Anis. Sampaikan salam saya kepada keluarga almarhum. Selamat ulang tahun.” Tuan Kokoh segera balikan badan, berjalan pergi dengan langkah-langkah lebar. Wajahnya merah padam.

“Sial. Aku merasa seperti Anjing.”

“Bu Anis dan penjilat diktatur Tohar itu memang keterlaluan, Tuan. Mereka sengaja menyampaikan undangan untuk mempermalukan kita.”

“Bukan soal pengusiran itu, Joko. Tetapi soal kita berniat menghadiri acara ini. Demi suara, demi jabatan, aku jadi seperti orang tanpa prinsip.”

Di depan sebuah rumah, beberapa ekor anjing menggonggong dari balik pagar. Tuan Kokoh berhenti. Menatap kedua anak buahnya. “Kalian camkan, bahkan anjing pun setia pada tuannya. Itulah prinsip hidupnya. Kita baru saja mengkhianati rakyat yang seharusnya menjadi tuan kita. Masihkah kita merasa lebih mulia dari anjing-anjing itu?”

“Guk,” serempak Yono dan Joko menyahut membenarkan tuan mereka.

***

Baca donk, Om-Tante: Puisi| LITANI DIRIMU DAN PUTRA KITA
Tilaria Padika
Timor, 13 Maret 2017
Arsip: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun