Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cerpen| Demi Suara

13 Maret 2017   11:20 Diperbarui: 14 Maret 2017   00:02 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nah, kalian tahu itu. Lalu sekarang kita harus hadir di dalam perayaan hari ulang tahun itu? Apa itu namanya jika bukan pengkhianatan? Apa itu namanya jika bukan menjilat dahak sendiri?”

“Mohon izin bicara, Tuan.” Joko masih mencoba. “Tetapi kita butuh suara dari keluarga dan pengikut almarhum Tuan Tohar. Lawan kita juga pasti hadir di sana. Jika kita tak hadir, mereka akan mengkapitalisasi itu sebagai peluru untuk menyerang kita. Bukankah kita perlu sedikit pragmatis di dalam soal ini?”

“Kau bilang itu pragmatis, Anak muda? Aku bilang itu tak berprinsip.”

Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Bibi Gana, bukan orang dekat menyapanya Nyai Gegana, perempuan sepuh muncul dari dalam. Ia satu-satunya perempuan yang pernah menjadi kades di sini. Bukan saja Tuan Kokoh, bahkan seluruh warga desa segan padanya.

“Kokoh, bibi sudah pikirkan matang-matang selama dua jam ini. Bibi bahkan bersamadi, memohon petunjuk dari para pendiri bangsa. Menurut Bibi, seperti kata Joko tadi, kita perlu pragmatis dalam soal ini. Pergilah kau ke sana, hadiri saja acara itu. Kita butuh dukungan dari para pengikut almarhum Tuan Tohar.”

Tuan Kokoh ingin membantah, tetapi ia tidak memiliki nyali untuk itu. Lidahnya terasa membeku, meski kobar kesal di hati tidak padam.

“Bibi paham, dirimu tak ingin menodai perjuangan di masa lalu. Tetapi ada masa depan yang juga perlu kita siasati, pemilihan kepala dusun di akhir pekan ini.”

Tuan Kokoh merasa kalimat a la motivator itu hanya gelembung sabun tanpa makna, sekedar excuse atas tindakan mengobral prinsip. Tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menolak. “Baik, Nyai. Jika itu perintah Nyai, saya mohon diri untuk segera ke sana.”

***

Balai Gaharu, demikian orang desa menjuluki rumah joglo yang dihuni anak-cucu almarhum Tuan Tohar, sudah ramai oleh tetamu. Sebagian besar lelaki mengenakan jas, tetapi banyak juga yang memakai baju batik. Para perempuan berkebaya, rambut mereka disanggul tinggi seperti ketika perayaan Hari Kartini di masa lampau saat emansipasi perempuan ditafsirkan sebagai kuntilanak wangi, para nyonya rumah yang sibuk wara-wiri mendampingi suami mereka yang berjabatan tinggi dalam berbagai seremoni kenegaraan atau kunjungan dinas ke pelosok.

Sejak di gerbang masuk, Tuan Kokoh sudah berusaha melebarkan bibir agar tampak seolah sedang tersenyum. Benaknya sedang menyusun kalimat basa-basi untuk beramah tamah dengan tuan pesta, putri sulung Tuan Tohar, juga untuk berjaga-jaga jika tanpa diduga diminta menyampaikan sepatah kata dua nanti. Di belakangnya, Yono dan Joko mengekor dalam bisu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun