Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pers Imparsial Itu Utopi

14 Februari 2017   01:21 Diperbarui: 14 Februari 2017   04:23 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pers dan kebebasan berpendapat. Aliansi Jurnalis Indonesia

Pers sonde berpihak itu omong kosong. Fitrah dan sejarah pers adalah berpihak, baik disengaja pun sonde. Maka titik permenungan bukan pada pers netral atau sonde, tetapi bagaimana etika keberpihakan yang tepat.

Media massa bukan mesin yang bekerja dengan algoritma otonom. Di baliknya ada pemilik dan operator, yaitu individu-individu yang sonde terhindarkan punya nilai, persepsi dan kepentingan. Ketika mereka memproduksi berita, memilih angle, menentukan narasumber, merancang tajuk, atau memutuskan berita mana cocok headline, layak tayang atau masuk tong sampah, pada alam bawah sadar pun kesadaran paripurna mereka bekerja nilai-nilai, persepsi, dan kepentingan. Neutral point of view betapapun ketat filternya tetap juga semata-mata netral teknis, bukan hakikat.

Mungkin tempat pertemuan antara konstruksionisme dan neoMarxisme adalah pada fitrah media massa sebagai agen konstruksi realitas. Marxisme yang dialektis, yang menanggalkan determinisme, terutama sejak Gramsci, mengakui bahwa kesadaran sonde semata-sama bangun atas yang menjadi cermin pasif relasi produksi sebagai bangun dasar. Suprastruktur lain, seperti politik dan kebudayaan sebaliknya berperan aktif di dalam membentuk kesadaran atau penerimaan atas realitas. Kondisi ketika masyarakat secara sukarela –kerena terkondisi untuk tanpa sadar-- menerima gagasan, kesadaran, atau realitas yang dipasok kepadanya merupakan kondisi terhegemoni. Salah satu alat hegemoni adalah media massa.

Kalangan konstruksionis sejak Berger meyakini bahwa realitas adalah produk dari proses sosial, proses di mana individu di dalam masyarakat berinteraksi dan menciptakan realitas dari pengalaman subjektif bersama. Individu berinternalisasi, mematut diri pada lingkungan sosio-kulturalnya. Gergen, psikolog konstruksionisme sosial mengatakan, makna, hakikat dari realitas dibangun lewat komunikasi. Pembentukan makna bukan otonomi individu, tetapi konstruksi kolektif melalui komunikasi. 

Menceritakan peristiwa atau keadaan adalah tindakan konseptualisasi pengalaman subjektif untuk merekonstruksi realitas. Pada era media massa mendominasi, komunikasi massal relatif satu arah dari segelintir orang  yang berkuasa memproduksi berita, media massa adalah pabrik utama realitas. Apa yang nyata bagi individu pembaca adalah  yang diberitakan media massa. Siapa agen yang tak menyadari ini? Hanya khalayak. Silent majority kata Bunda Mega.

Fitrah pers yang berpihak dikonfirmasi sejarah. Pers nasional kita misalnya, telah berperan penting dalam membangun kesadaran masyarakat Hindia Belanda sebagai sebuah bangsa, Indonesia. Akankah kita merdeka jika orang-orang seperti Tirto Adisoerjo, Mas Marko Kartodikromo, Hadji Misbach, dan lusinan tokoh pers era kebangkitan nasional, berlanjut ke era perjuangan kemerdekaan, sonde secara sadar menjadikan media massa sebagai corong membangkitkan kesadaran penduduk nusantara akan kebangsaan Indonesia dan gagasan-gagasan kemerdekaan? Bukankah Anderson memberi hormat pada  kapitalisme percetakan sebagai penjasa besar terbentuknya imagined community bernama Indonesia ini?

Maka pers yang netral adalah gagasan kosong yang memanipulasi fitrah dan memunggungi sejarah. Mungkinkah gagasan ini menyata di masa kini? Sonde! Anda ingin bukti? Baik, beta bagikan beberapa.

Kasus pertama

Sekitar 2001-2002, beta dan seorang kawan ngobrol  dengan wartawan senior surat kabar nasional terkemuka di restoran dekat kantor surat kabar ibu kota, Rakyat Merdeka. Kami bicara tentang kekeliruan-kekeliruan kebijakan pemerintahan Mega-Hamzah dan pentingnya mengakhiri kekuasaan si tukang jual aset Negara itu. Si wartawan menyarankan, jika suara buruh dan kaum demokratik ingin didukung pemberitaan medianya, kami perlu mewacanakan tokoh toleran seperti Nurcholis Madjid sebagai calon presiden. Wakilnya boleh dari kalangan muda yang kami kehendaki. Tanpa itu, ia minta maaf, kami harus memobilisasi puluhan ribu orang agar suara  kaum buruh dan kelompok demokratik dapat diberitakan medianya.

Usulan si wartawan senior tadi merupakan bukti bahwa pers, para redakturnya, mewakili politik pemilik media dan para redaktur itu sendiri. Koran terbesar tetapi dimiliki kalangan beridentitas minoritas tentu berkepentingan menjamin hak-hak politiknya, dan itu hanya bisa terjadi jika kekuasaan Negara berada di tangan orang-orang pluralis, seperti Gus Dur dan Cak Nur (Saat itu kelompok nasionalis mainstream hanya pandai berdemagog NKRI harga mati sambil menjual BUMN-BUMN strategis).

Kasus kedua.

Pada era akhir 2000an, beta punya kawan diskusi, seorang mantan tokoh pers NTT yang saat itu juga anggota DPRD Provinsi. Ia sering mengunjungi beta untuk berdiskusi sebab ia merasa sonde memiliki teman diskusi sepadan di antara kalangannya yang ia nilai dungu semua dan hanya berpikir urusan perut masing-masing.

Suatu ketika kami berdiskusi khusus tentang media massa dan keberpihakannya. Beta menunjukkannya contoh sederhana bagaimana keberpihakan bisa dilakukan tanpa melanggar prinsip cover both side dan konfirmasi, check-rechek.

Di hadapannya beta gelar tiga koran lokal dan memintanya menunjukkan koran mana yang berpihak kepada rakyat berdasarkan isi berita. Ia sibuk mencerna berita demi berita. Setelah cukup lama, beta menunjukkan halaman depan 3 surat kabar itu. Satu surat kabar ber-headline aksi petani menolak lahan ulayat mereka dijadikan Makorem perluasan.  Satu yang lain (jejaring Kompas) tentang aktivitas gubernur menggunting pita pada sebuah acara tak penting. Yang terakhir  (jejaring Jawa Pos) juga tentang pejabat, walikota.

Pilihan headline adalah pola yang menunjukkan keberpihakan media, etalase sikap politik redaktur dan pemilik media. Media pertama menempatkan dirinya sebagai corong bagi rakyat. Sementara media kedua dan ketiga membaktikan diri sebagai humas pemda. Ketiganya melakukan itu tanpa meninggalkan prinsip cover both side dan check-recheck.

Kita mungkin menuduh media kedua dan ketiga di dalam kasus kedua berposisi demikian karena memenangkan lelang advertorial pemda atau karena pemilik dan redakturnya memiliki afiliasi politik atau deal khusus di luar urusan perwartaan. Tetapi jika bercermin pada kasus pertama, lebih positif untuk menduga ada persamaan nilai dan kepentingan di antara media kedua dan ketiga dengan pemerintah yang di-humas-inya. Karena kesamaan kepentingan itu –sonde harus berarti buruk. Nilai pluralism yang diperjuangkan di dalam kasus pertama adalah baik— media massa merasa penting untuk memperkuat pemerintah yang didukungnya dengan prioritas pemberitaan.

Kasus ketiga

Istri beta memiliki kepedulian pada persoalan gizi anak. Itu konsern pribadinya sebagai ibu, juga kebetulan pernah bekerja untuk program terkait pemenuhan gizi. Suatu ketika ia menulis tentang kebaikan memberikan ASI atau setidaknya susu UHT dan mengonsumsi pangan beragam dibandingkan menggantungkan gizi anak pada susu bubuk. Di dalam artikelnya ia menjabarkan bukti-bukti dari sekian referensi riset tentang ketidakuntungan susu bubuk. Ia mengirimkannya sebagai opini kepada sebuah surat kabar besar. Jawaban yang ia peroleh, tema demikian sonde sesuai dengan kebijakan media itu. Kami paham, setiap hari selalu ada iklan susu bubuk beragam merek dan pabrik di sana.

Kasus keempat

Dua hari ini Metro TV sonde henti-hentinya memberitakan kunjungan Pak Surya Paloh di Papua. Durasi berita lebih lama dari biasanya. Sonde mengapa, wajarlah memberitakan tuan sendiri. Tetapi yang mengganggu adalah berita itu menyebutkan masyarakat secara ‘spontan’ berbodong-bondong menyambut Pak Surya Paloh. Di dalam tayangan hanya tampak segelitir orang berbaris mengenakan kaos Partai Nasdem dan melambai-lambaikan bendera dan umbul-umbul partai itu (di pusat pelaksanaan kegiatan memang banyak orang, tetapi juga berkaos Nasdem). 

Berbeda dengan narasi yang menyebutkan ‘masyarakat spontan menyambut,’ tayangan gambar sama sekali sonde menunjukkan itu. Orang-orang berkaos Nasdem mengibar-ngibarkan bendera partai itu tentulah dimobilisasi khusus untuk menyambut kedatangan sang ketua partai, bukan masyarakat yang spontan mengelu-elukan Pak Surya Paloh ketika melihatnya lewat. Mana ada sih spontan tetapi sempat mengenakan kaos dan membawa berdera partai?

Hanya satu kata, ‘spontan,’ tetapi berdampak penting sebab membangun kesan (rekonstruksi realitas) bahwa Pak Surya Paloh itu tokoh yang diterima semua pihak di Papua, bukan hanya pengurus dan bacaleg Partai Nasdem. Ini adalah bentuk lain Hoax. Sejenis hoax yang  menguntungkan pembuat berita (kesan positif bagi politisi pemiik Metro TV) tetapi sonde merugikan pemirsa.

Lalu Apa?

Kita sonde perlu bermimpi akan adanya pers netral, yang memberi ruang setara bagi kepentingan dan persepsi setiap kelompok sosial. Pers memang hakikanya bagian dari dalam pusaran politik. Ia wajah lain kekuasaan. Jika tentara, polisi, penjara, dan undang-undang adalah alat dominasi kekuasaan, maka media massa dan institusi-institusi penghasil nilai adalah instrumen hegemoninya. Terima saja itu sebagai kenyataan. Yang terpenting adalah pers sonde menyajikan berita paslu, menyampaikan propaganda tanpa fakta, hoax.

Individu-individu kini memiliki ruang untuk membalikkan keadaan, mengimbangi konstruksi realitas oleh industri pewartaan tanpa harus mengemis kepedulian redaktur media mainstream yang idealismenya terborgol periuk nasi atau persepsi kelas menengah yang tengah berebut ruang di antara rombongan safari istana, atau pada upah masa depan dari mengabdi pensiunan jendral yang makan dari berdagang isu separatism, kebangkitan komunisme, dan kebencian indentitas. Blog dan media sosial adalah alat untuk itu, alat bagi tiap-tiap individu untuk menyuarakan persepsi dan kepentingannya.

Maka serangan propaganda negatif berlebihan terhadap media sosial, blog, dan media warga adalah upaya mendorong pendulum dari satu ekstrim kembali ke ektrim lain. Sebagai bloger, Kompasioner, kita sonde perlu terjebak turut melolong dengan nada serupa itu. Yang perlu kita lakukan adalah membudayakan kultur check-rechek, ketat evidence dan referensi agar menjadi standar setiap individu ketika menceburkan diri dalam pabrik sosial wacana dan berita.

Don’t wacth tv but make it! Demikian slogan para pekerja kreatif yang turut mendukung revolusi Bolivarian di Venezuela. Mereka sadar betul, monopoli media-media besar efektif membutakan rakyat atas realitas yang sesungguhnya.

Jadi mana amin-nya, Bapak-Ibu-Saudara?

Baca donk, Oom Tante: PUISI| Bersabarlah Gadis Kecil

***
Tilaria Padika
Timor, 14/02/2017
Arsip: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun