Pada era akhir 2000an, beta punya kawan diskusi, seorang mantan tokoh pers NTT yang saat itu juga anggota DPRD Provinsi. Ia sering mengunjungi beta untuk berdiskusi sebab ia merasa sonde memiliki teman diskusi sepadan di antara kalangannya yang ia nilai dungu semua dan hanya berpikir urusan perut masing-masing.
Suatu ketika kami berdiskusi khusus tentang media massa dan keberpihakannya. Beta menunjukkannya contoh sederhana bagaimana keberpihakan bisa dilakukan tanpa melanggar prinsip cover both side dan konfirmasi, check-rechek.
Di hadapannya beta gelar tiga koran lokal dan memintanya menunjukkan koran mana yang berpihak kepada rakyat berdasarkan isi berita. Ia sibuk mencerna berita demi berita. Setelah cukup lama, beta menunjukkan halaman depan 3 surat kabar itu. Satu surat kabar ber-headline aksi petani menolak lahan ulayat mereka dijadikan Makorem perluasan.  Satu yang lain (jejaring Kompas) tentang aktivitas gubernur menggunting pita pada sebuah acara tak penting. Yang terakhir  (jejaring Jawa Pos) juga tentang pejabat, walikota.
Pilihan headline adalah pola yang menunjukkan keberpihakan media, etalase sikap politik redaktur dan pemilik media. Media pertama menempatkan dirinya sebagai corong bagi rakyat. Sementara media kedua dan ketiga membaktikan diri sebagai humas pemda. Ketiganya melakukan itu tanpa meninggalkan prinsip cover both side dan check-recheck.
Kita mungkin menuduh media kedua dan ketiga di dalam kasus kedua berposisi demikian karena memenangkan lelang advertorial pemda atau karena pemilik dan redakturnya memiliki afiliasi politik atau deal khusus di luar urusan perwartaan. Tetapi jika bercermin pada kasus pertama, lebih positif untuk menduga ada persamaan nilai dan kepentingan di antara media kedua dan ketiga dengan pemerintah yang di-humas-inya. Karena kesamaan kepentingan itu –sonde harus berarti buruk. Nilai pluralism yang diperjuangkan di dalam kasus pertama adalah baik— media massa merasa penting untuk memperkuat pemerintah yang didukungnya dengan prioritas pemberitaan.
Kasus ketiga
Istri beta memiliki kepedulian pada persoalan gizi anak. Itu konsern pribadinya sebagai ibu, juga kebetulan pernah bekerja untuk program terkait pemenuhan gizi. Suatu ketika ia menulis tentang kebaikan memberikan ASI atau setidaknya susu UHT dan mengonsumsi pangan beragam dibandingkan menggantungkan gizi anak pada susu bubuk. Di dalam artikelnya ia menjabarkan bukti-bukti dari sekian referensi riset tentang ketidakuntungan susu bubuk. Ia mengirimkannya sebagai opini kepada sebuah surat kabar besar. Jawaban yang ia peroleh, tema demikian sonde sesuai dengan kebijakan media itu. Kami paham, setiap hari selalu ada iklan susu bubuk beragam merek dan pabrik di sana.
Kasus keempat
Dua hari ini Metro TV sonde henti-hentinya memberitakan kunjungan Pak Surya Paloh di Papua. Durasi berita lebih lama dari biasanya. Sonde mengapa, wajarlah memberitakan tuan sendiri. Tetapi yang mengganggu adalah berita itu menyebutkan masyarakat secara ‘spontan’ berbodong-bondong menyambut Pak Surya Paloh. Di dalam tayangan hanya tampak segelitir orang berbaris mengenakan kaos Partai Nasdem dan melambai-lambaikan bendera dan umbul-umbul partai itu (di pusat pelaksanaan kegiatan memang banyak orang, tetapi juga berkaos Nasdem).Â
Berbeda dengan narasi yang menyebutkan ‘masyarakat spontan menyambut,’ tayangan gambar sama sekali sonde menunjukkan itu. Orang-orang berkaos Nasdem mengibar-ngibarkan bendera partai itu tentulah dimobilisasi khusus untuk menyambut kedatangan sang ketua partai, bukan masyarakat yang spontan mengelu-elukan Pak Surya Paloh ketika melihatnya lewat. Mana ada sih spontan tetapi sempat mengenakan kaos dan membawa berdera partai?
Hanya satu kata, ‘spontan,’ tetapi berdampak penting sebab membangun kesan (rekonstruksi realitas) bahwa Pak Surya Paloh itu tokoh yang diterima semua pihak di Papua, bukan hanya pengurus dan bacaleg Partai Nasdem. Ini adalah bentuk lain Hoax. Sejenis hoax yang  menguntungkan pembuat berita (kesan positif bagi politisi pemiik Metro TV) tetapi sonde merugikan pemirsa.