Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bullying, Debat III Pilgub DKI, dan 'Pasung Jiwa' Okky Madasari

12 Februari 2017   04:01 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:28 2317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendukung Pak Agus dan Pak Anis tentu sonde senang jika beta katakan overall debat III Pemilukada DKI dimenangkan Pak Ahok. Demikian pula pendukung Pak Ahok akan cemberut membaca bahwa meski menang, ulu hati Pak Ahok terhujam hook telak Pak Anis.

Kritikan Pak Ahok terhadap program landed house murah tanpa uang muka berhasil membangun kesan program paslon nomor 3 itu cuma janji utopis, baik karena sonde feasible dalam kalkulasi pendanaan (sumber dana dan kemampuan membayar) pun karena benturan dengan peraturan dan kebijakan otoritas yang lebih tinggi (pemeritah pusat dan undang-undang terkait). Mungkin saja jika Pak Sandi malam itu menjelaskan secara konkrit dan detail contoh dari Negara lain, keadaan bisa berbalik. Sayang, Pak Sandi hanya bilang banyak di Negara lain  mempraktikkan hal itu.

Demikian pula umpat kasar Pak Ahok pada janji 1 miliar per RW dari Pasangan Agus-Sylvi sulit dibantah kebenarannya. Pembelaan Pak Agus bahwa Pak Ahok-Jarot hanya curiga kepada rakyat adalah semata-mata serangan politis sebab di banyak daerah program  serupa memang bermasalah pertanggungjawabannya. Pak Agus sendiri sonde menjabarkan secara jelas sumber dana, mekanisme penyaluran, tujuan pemanfaatan, penerima dan bagaimana pertanggungjawaban dana ini. Tampak kalau semua program Agus-Sylvi dimuarakan ke dana 1 M per RW ini. Jika hendak menyamakan dengan Dana Desa, Pak Agus harus mengubah ketatanegaraan Indonesia, menjadikan RW sebagai pemerintahan terkecil. Itu bukan kapasitas dia sebagai gubernur.

Tetapi di tengah banyaknya skor yang ditembakkan paslon 2 ke lawan-lawannya, satu hook telak dilayangkan Pak Anis kepada Pak Ahok. Soal bullyng di sekolah. Sebelum beta menjelaskan ini lebih jauh, kita bicara dulu soal hubungan debat III itu dengan novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari.

Bullying dalam Pasung Jiwa  Madasari (Juga Pulang  Chudori)

Judul lengkapnya adalah Pasung Jiwa: apa itu kebebasan? Okky Madasari penulisnya, perempuan keren yang juga menghasilkan Maryam dan 86. Maryam meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 sementara 86 masuk nominasi 5 besar penghargaan serupa pada 2011.

Seting Pasung Jiwa adalah penindasan Orde Baru dan perlawanan terhadapnya. Ada soal pembunuhan Marsinah; soal tentara mem-back-up penindasan buruh di pabrik; soal tentara tukang perkosa; soal kerja sama polisi dan FPI; dan soal penggulingan Soeharto.  Seting kosmos yang lebih kecil adalah orang tua yang memaksa ideal-idealnya pada anak dan perilaku bullying di sekolah. Sementara temanya adalah perlawanan individu terhadap kontrol sosial yang mengekang hakikat diri.

Di dalam Pasung Jiwa, si tokoh utama, Sasana, sejak kecil dipaksa tumbuh sesuai ideal orang tua. Ia harus pandai main piano dan cerdas dalam mata pelajaran. Untuk mewujudkan itu, kedua orang tua (ibu dokter, ayah pengacara) menyekolahkannya di sekolah elit.

Rupanya sonde ada hubungan bullying dengan latar belakang ekonomi keluarga. Anak-anak kaya itu, kakak kelas Sasana, gemar menganiaya adik-adik kelas, memaksa mereka menyerahkan uang saku setiap hari.

Suatu ketika Sasana pulang dalam kondisi babak belur. Ayah-ibu marah sebab menduga ia berkelahi di sekolah. Sasana takut membantah. Hari-hari selanjutnya penganiayaan terus terjadi tanpa Sasana berani melaporkan kepada ayah-ibu.

Ayah-ibu akhirnya tahu juga bahwa Sasana bukan berkelahi tetapi dianiaya. Mereka melaporkan kepada pihak sekolah tetapi sekolah menganggapnya sekedar keisengan bocah-bocah, menegur para pelaku tanpa tindakan serius. Penganiayaan terus terjadi hingga Sasana diangkut ke rumah sakit. Ketika orang tua mendesak pihak sekolah, justru Sasana yang disarankan pindah sekolah sebab para pelaku bullying adalah anak pejabat, jendral, dan pengusaha besar. Hal terakhir ini mirip pengalaman Bimo dan Alam di dalam Pulang karya Leila S. Chudori.

Bullying  dan Putra Beta

Putra beta pernah mengalami hal serupa. Sejak kecil, beta dan istri selalu menanamkan padanya tentang betapa tidak elok melakukan kekerasan terhadap orang lain itu atau bahkan sekedar meledek sekalipun. Ia menjadi anak lelaki yang respek terhadap orang lain dan sangat apresiatif. Anda bayangkan saja, ketika giliran beta masak dan hasilnya tak enak, ia akan bilang, “Papa, masakanmu ini rasanya unik. Saya belum terbiasa. Bisa saya makan sedikit saja?” Ia tidak akan gunakan kata-kata negatif. Itu waktu ia belum tujuh tahun, lho.

Masalah bullying muncul saat ia di kelas 1 SD.

Anak beta unik. Ia mengenal bahasa Inggris dulu baru bahasa Indonesia. Karena itu, bahasa Indonesianya sangat formil dan tampak aneh di dalam percakapan lisan. Itu membuatnya sering diledek. Ketika ia mengeluhkan itu, kami menganjurkan untuk melaporkan kepada guru. Ia melaporkannya, tetapi guru sonde mengacuhkan.

Temannya kian kasar, mendorong dan menendang segala. Ia pernah membalas, temannya menangis. Guru memarahi anak saya tanpa terlebih dahulu bertanya. Guru yang letih sering kehabisan nalar dan kesabaran untuk berpikir jauh. Siapa yang menangis, itu lah korban.

Karena merasa lingkungan sekolah tidak bisa diharapkan, beta dan istri mendaftarkan anak berlatih bela diri. Setiap pagi kami membekalinya dengan pesan. Ingat, meledek dan memukul teman itu sangat tidak pantas. Tetapi jika ada teman yang memukulmu, pukul balas dengan lebih keras agar dia tahu perbuatannya menyakitkan. Jika guru memarahimu, katakan pada guru itu dengar dulu dengan adil penjelasamu atas duduk soalnya.

Suatu ketika, di kompleks rumah, teman-temannya bercerita putra beta menangis karena dipukul kawan sepermainan. Cerita itu dua hari setelah kejadian. Beta bertanya kepadanya dan dengan enggan Ia benarkan. “Mengapa tidak membalas?” Tanya beta. Sudah, katanya. Tetapi kakak lawannya, anak kelas 6 SD menendangnya di dada. Bayangkan, anak kelas 6 menendang anak kelas 1.

Beta tak bisa menahan amarah ketika tahu peristiwa itu terjadi di depan mata ibunda kakak-beradik pengeroyok. Ibu itu tidak berbuat apa-apa. Peristiwa serupa sering dialami anak-anak lain yang bermain dengan kedua anak itu.

Beta berubah menjadi Singa, Singa betina bahkan. Beta datangi rumah itu, menemui suami-istri dan putra mereka, kedua bocah tukang bully itu. Kepada kedua anak itu beta bilang, “Kalian sekali lagi suka kasar dalam bermain, Oom potong kaki tangan kalian.” Kedua orang tuanya beta ancam, “Eh china, anak jadi penjahat, kalian diamkan saja. Kalau terjadi lagi, saya bakar rumah kalian.” Kedua bocah itu menggigil ketakutan. Ayah-ibunya mohon maaf dengan wajah cemberut.

Sejak itu kedua bocah nakal tadi tidak lagi berani kasar kepada putra beta. Jika melihat beta lewat, mereka berlari masuk ke dalam rumah. Kata tetangga, mereka juga jadi lebih santun terhadap anak-anak lain. Beta berhasil menghentikan pelaku bully, tetapi beta kemudian menyesal karena caranya tidak tepat. Seharusnya beta mencoba cara lebih baik, sonde dengan mengancam dan mengeluarkan kata-kata rasis.

Deontologis Anis versus Konsekuensialis Ahok

Tindakan beta ini bisa dibenarkan jika menggunakan kacamata konsekuensialis, suatu aliran di dalam filsafat moral atau etik yang memandang bahwa benar atau tidaknya suatu tindakan bergantung pada konsekuensinya. Jika konsekuensi atau hasilnya baik, maka tindakan apapun untuk mencapainya baik adanya.

Tetapi jika menggunakan kacamata deontologis, tindakan beta salah. Dalam menilai kebenaran suatu tindakan, kaum deontologis memisahkan tindakan dari dampaknya. Meski dampaknya baik, jika tindakan salah, maka tetaplah salah tindakan itu. Mengancam orang dan mengeluarkan kata-kata rasis adalah tindakan yang salah meski tujuan dan hasilnya baik.

Kesalahan serupa dilakukan Pak Ahok, sebagaimana terungkap di dalam debat III. Resep Pak Ahok menghentikan bullying adalah mengeluarkan pelaku dari sekolah.

Kesalahan ini segera dimanfaatkan Pak Anis. Tampak betapa cepat Pak Anis menyambar. “Itu tindakan yang salah. Kita tidak bisa menghentikan bullying dengan mengeluarkan anak dari sekolah karena itu berarti membunuh masa depan anak itu,” kurang lebih begitu katanya. Meskipun solusi Pak Anis sendiri tidak cukup clear, tetapi solusi Pak Ahok secara nurani sulit diterima.

Jika bertarung dengan nalar dingin, memang belum tentu timbangan etik deontologism lebih tepat dibandingkan consequentialism. Tetapi dalam penilaian cepat berdasar emosi, hampir pasti orang akan berpihak pada deotologis. Jika Anda berdebat soal etika kekuasaan dengan Machiavelli, belum tentu ia kalah. Tetapi siapapun secara sepintas tidak akan senang dengan prinsip ‘tujuan menghalalkan cara’ yang mendasari Il Principe. Machiavellian adalah contoh konsekuensialis ekstrim di dalam politik dan pemerintahan. Hal yang sama dengan Orde Baru. Siapa yang senang praktik tujuan halalkan cara oleh rezim Soeharto-Golkar-Militer di dalam mempertahankan kekuasaannya dulu?

Akhir kata, bagi beta, upaya mencegah bullying adalah dengan mendidik orang tua. Kebiasaan bullying anak biasanya karena orang tua gagal dalam mendidik, atau lebih sering karena orang tualah yang menanamkan perilaku itu. Yang kedua adalah mendidik guru-guru dan penyelenggara pendidikan agar peka, agar melek bahwa bullying bukan perkara sepele. Mungkin Anda bisa membaca artikel beta “Belajar Toleransi di Negeri Orang Itu Perlu.” Di situ ada bagian yang menceritakan pencegahan bullying di New Zealand, tempat anak beta kini bersekolah dengan gembira.

Baca donk, Oom Tante:‘Arok Dedes’ Pramoedya: Perang Proksi dan Problem Kebhinnekaan

***

Published juga di blog pribadi: Coffee4Soul.club

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun