Kesalahan ini segera dimanfaatkan Pak Anis. Tampak betapa cepat Pak Anis menyambar. “Itu tindakan yang salah. Kita tidak bisa menghentikan bullying dengan mengeluarkan anak dari sekolah karena itu berarti membunuh masa depan anak itu,” kurang lebih begitu katanya. Meskipun solusi Pak Anis sendiri tidak cukup clear, tetapi solusi Pak Ahok secara nurani sulit diterima.
Jika bertarung dengan nalar dingin, memang belum tentu timbangan etik deontologism lebih tepat dibandingkan consequentialism. Tetapi dalam penilaian cepat berdasar emosi, hampir pasti orang akan berpihak pada deotologis. Jika Anda berdebat soal etika kekuasaan dengan Machiavelli, belum tentu ia kalah. Tetapi siapapun secara sepintas tidak akan senang dengan prinsip ‘tujuan menghalalkan cara’ yang mendasari Il Principe. Machiavellian adalah contoh konsekuensialis ekstrim di dalam politik dan pemerintahan. Hal yang sama dengan Orde Baru. Siapa yang senang praktik tujuan halalkan cara oleh rezim Soeharto-Golkar-Militer di dalam mempertahankan kekuasaannya dulu?
Akhir kata, bagi beta, upaya mencegah bullying adalah dengan mendidik orang tua. Kebiasaan bullying anak biasanya karena orang tua gagal dalam mendidik, atau lebih sering karena orang tualah yang menanamkan perilaku itu. Yang kedua adalah mendidik guru-guru dan penyelenggara pendidikan agar peka, agar melek bahwa bullying bukan perkara sepele. Mungkin Anda bisa membaca artikel beta “Belajar Toleransi di Negeri Orang Itu Perlu.” Di situ ada bagian yang menceritakan pencegahan bullying di New Zealand, tempat anak beta kini bersekolah dengan gembira.
Baca donk, Oom Tante:‘Arok Dedes’ Pramoedya: Perang Proksi dan Problem Kebhinnekaan
***
Published juga di blog pribadi: Coffee4Soul.club
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H