Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arok Dedes Pramoedya: Perang Proksi dan Problem Kebhinnekaan

8 Februari 2017   19:27 Diperbarui: 24 Mei 2018   01:38 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dang Lohgawe-Arok, Belakangka, dan Mpu Gandring terlibat di dalam perang memanfaatkan kekuatan orang lain, Kebo Ijo yang bernapsu pada kekuasaan. Inilah yang kini disebut sebagai proxy war

Tetapi Lohgawe dan Arok lebih lihai, mereka membiarkan Kebo Ijo melakukan kudeta untuk kemudian mengudeta lagi kudeta Kebo Ijo. Dengan cara itu, Arok tampil sebagai pahlawan, sebagai yang menumpas pemberontakan Gerakan Mpu Gandring dan dengan itu tidak segera dipandang Kediri sebagai musuh. ‘Kudeta merangkak,’ demikian istilah yang kemudian lahir sebagai kekhasan kudeta a la raja-raja Jawa. “…cara perang tanpa membuka gelar,” Kata Ken Dedes di tengah sesungguk tangisnya.

Kudeta merangkak dan perang proksi inilah yang diyakini terjadi pada 1965.

Di tengah ketegangan banyak segi, antara kekuatan-kekuatan sipil (PKI, PNI, Masyumi, NU), inter faksi TNI (para perwira menengah kere dan para jenderal korup, bekas KNIL vs PETA), antara sipil-militer, serta antara Amerika-Inggris-Soviet-China, masing-masing pihak menyusun strategi, menggerakkan bidak-bidak.

Ketika para perwira pro-Soekarno, Untung cs mengambil langkah oleh provokasi isu Dewan Jendral, Soeharto segera memanfaatkan langkah gegabah mereka untuk membasmi dua lawan sekaligus, Soekarno dan kelompok kiri (PKI, PNI Soekarnois, dan ormas-ormas rakyat).

Seperti Tunggul Ametung, Soekarno kehilangan jabatannya. Seperti Arok, Soeharto berkuasa sekaligus menjadi pahlawan. Seperti para bramana Siwa berdiri di belakang Arok, begitu pula Amerika Serikat dan Inggris berdiri di belakang Soeharto. Seperti Nasution disingkirkan Soeharto, demikian pula kekuasaan Arok menghapus peluang Ken Dedes berkuasa.

Kudeta merangkak dan proxy war ini juga yang dibaca sebagian pihak terjadi pada bulan-bulan akhir tahun kemarin. Mungkin sekedar ketakutan orang-orang paranoid. Mungkin juga kejelian mata nalar mereka yang peka kondisi. Yang pasti, ada dugaan  bahwa para pihak yang berkepentingan akan kekuasaan 'berperang tanpa membuka gelar', memanfaatkan keresahan rakyat atas penggusuran dan kasus ‘penistaan’ agama oleh Ahok pada momentuk Pemilukada DKI, mencoba merangkak menititi tangga menuju istana sebagai sasaran akhir.

Tetapi Arok Dedes bukan sekedar kisah tentang kudeta merangkak dan perang proksi. Ada hal lain yang juga pas jadi cermin untuk masa kini kita. Soal keBHINNEKAan, keberagaman.

Sebagian brahmana, termasuk Ken Dedes berharap kekuasaan Arok akan menegakkan lagi dominasi Hindu Saiwa. Sayang, mereka harus kecewa.

Di dalam pidato pengukuhannya, Arok berkata:

…Baik kaum Wysnu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan Tantrayana, jangan bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa… Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana menyembah para dewa, tapi dharma pada sesamanya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun