Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arok Dedes Pramoedya: Perang Proksi dan Problem Kebhinnekaan

8 Februari 2017   19:27 Diperbarui: 24 Mei 2018   01:38 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Karya-karya sastra sering dengan lihai memanggil kisah masa lalu, menghadirkannya sebagai cermin bagi peristiwa-peristiwa hari ini.

Kemarin, 6 Februari adalah hari lahir Pramodya Ananta Toer, begawan sastra Indonesia. Andai masih hidup, 92 tahun usianya kini. Beta memperingatinya dengan membaca kembali salah satu karya PAT.

Sepulang kerja, beta memilih acak salah satu novel PAT dari rak buku dan tenggelam di dalamnya sejak sore hingga dini hari.

Adalah Arok Dedes, novel pertama dari tetralogi yang hilang, tetralogi Pulau Buru yang lain.

Tidak seperti tetralogi Bumi Manusia, tetralogi Pulau Buru yang lain ini adalah rangkaian yang patah sebab novel kedua, Mata Pusaran hilang di tangan Orde Baru. Seharusnya tetralogi ini terdiri dari Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan ditutup dengan naskah lakon Mangir.

Arok Dedes menceritakan peristiwa politik, sebuah kudeta merangkak di Tumapel, wilayah taklukan Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Raja Sri Kretajaya.

Dengan tuturan menarik, PAT mengubah peristiwa yang diceritakan di dalam pelajaran sejarah SD-SMP sebagai peristiwa mistis ‘kutukan Mpu Gandring’ menjadi peristiwa politik ‘kudeta merangkak,’ pengambilalihan kekuasaan a la Jawa yang diyakini terjadi berulang sepanjang sejarah Nusantara, bahkan hingga zaman Indonesia modern.

Kita keluar sedikit dari novel ini untuk membantu melihat latar sejarahnya dari referensi lain.

Sri Kretajaya adalah Raja Mataram-Kediri dari wangsa Isana setelah penyatuan kembali Jenggala dan Kediri. Wangsa Isana itu sendiri dimulai oleh Mpu Sindok, yang memindahkan Ibu Kota Mataram Kuno (Medang) dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Konon Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang berkuasa setelah Diah Balitung, pendiri Candi Prambanan.

Diah Balitung adalah wangsa Sanjaya. Kekuasaan wangsa Sanjaya sempat terinterupsi oleh wangsa Sailendra yang menganut Budha Mahayana sebelum kemudian Rakai Pikatan mengusir  Balaputra Dewa yang lari ke Sriwijaya.

Awalnya wangsa Isana adalah Saiwa (Hindu penganut Siwa), namun sejak masa kekuasaan Airlangga, putra dari Mahendradatta dengan Raja Bali Udayana Warmadewa, raja-raja Mataram (Kerajaan Kahuripan di masa Airlangga, dan Kediri setelah Panjalu dan Kediri kembali disatukan oleh Sri Jayabaya) beralih menjadi penganut Waisnawa (Hindu pemuja Wisnu).

Novel Arok Dedes menyinggung tiga hal yang terjadi di zaman Airlangga, selain soal pembangunan bendungan yang telah dikenal itu.

Pertama, Airlangga merombak sistem kasta atau wangsa di Mataram dari sebelumnya berbasis genetik menjadi berbasis dharma.  Dengan begitu, seorang berdarah sudra dapat naik kelas menjadi ksatria atau bahkan brahmana. Sistem kasta juga disederhanakan menjadi triwangsa, dengan menghapus kasta waisyia sehingga tersisa brahmana, ksatria, dan sudra.

Kedua Airlangga menghapuskan perbudakan dan dengan demikian tiada lagi wangsa paria.  Ketiga, Airlangga diangkat dan mengangkat diri sebagai awatara Wisnu. Kitab Arjuna Wiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada 1035 sejatinya merupakan modifikasi epik Mahabrata dengan menjadikan Arjuna sebagai metafor Airlangga.

Pada masa Sri Kertajaya, empat generasi setelah Airlangga, Waisnawa telah menjadi agama resmi di Kediri.

Hal ini menimbulkan keresahan dan kebencian di kalangan para brahmana Saiwa. Ketegangan segitiga terjadi, antara para brahmana Saiwa, para raja dan pendeta Waisnawa, dan para biksu Budha Mahayana (termasuk Tantrayana). Selama 200 tahun lamanya para brahmana Saiwa menghabiskan waktu dengan merutuki kekuasaan raja-raja Waisnawa.

Kekuasaan bekas bandit bergelar Tunggul Ametung sebagai Akuwu Tumapel memperluas pertentangan. Demi mengumpulkan upeti untuk disetorkan kepada Sri Kretajaya di Kediri, Tunggul Ametung semena-mena membebankan pajak tinggi kepada rakyat Tumapel, bahkan memberlakukan perbudakan kerja paksa di tambang emas rahasianya, juga perbudakan terhadap perempuan sebagai selir-selirnya.

Tampil sebagai pahlawan, Temu, seorang pemuda berdarah sudra yang piatu sejak bayi dan diasuh sejumlah orang tua, mulai dari seorang petani-peternak, penjudi, biksu Tantri dan berakhir pada Dang Hyang Lohgawe, ketua perkumpulan brahmana Waisnawa. Dang Hyang Lohgawe inilah yang menggelari Temu sebagai Arok, dan kelak Ken Arok.

Sejak kecil, Temu telah memulai gerilya melawan Tunggul Ametung, merampok kereta-kereta berisi upeti dan menimbun harta hasil rampasan itu. Harta inilah yang kelak menggenapi 'empat kaki nandi' (teman, kesetiaan, harta, dan senjata) sebagai syarat kekuatan pemberontakan.

Maka ketika Dedes anak Mpu Parwa diculik Tunggul Ametung, sidang rahasia para bramana Saiwa terkemuka memberi restu pada Arok untuk memimpin menggerakkan empat kaki nandi, memberontak terhadap kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel dan selanjutnya terhadap raja-raja Wainawa di Kediri.

Di Tumapel berlangsung pertarungan banyak segi. Belakangka, pendeta resmi Tumapel sekaligus orang tempatan Kediri mencoba memanfaatkan Kebo Ijo, seorang tantama berdarah ksatria untuk menggulingkan Tunggul Ametung.

Di sisi lain, Kebo Ijo bersama sejumlah tantama yang benci pada status istimewa para pangeran anak selir (menjadi perwira kepala pasukan meski tak cakap perang) diorganisasikan secara rahasia oleh pengrajin senjata, Mpu Gandring untuk memberontak. Ketika Arok ‘menyusup’ sebagai berpura-pura membantu Tunggul Ametung membasmi kaum pemberontak (yang adalalah pasukan Arok sendiri), pertempuran senyap itu menjadi semakin bersegi banyak.

Dang Lohgawe-Arok, Belakangka, dan Mpu Gandring terlibat di dalam perang memanfaatkan kekuatan orang lain, Kebo Ijo yang bernapsu pada kekuasaan. Inilah yang kini disebut sebagai proxy war

Tetapi Lohgawe dan Arok lebih lihai, mereka membiarkan Kebo Ijo melakukan kudeta untuk kemudian mengudeta lagi kudeta Kebo Ijo. Dengan cara itu, Arok tampil sebagai pahlawan, sebagai yang menumpas pemberontakan Gerakan Mpu Gandring dan dengan itu tidak segera dipandang Kediri sebagai musuh. ‘Kudeta merangkak,’ demikian istilah yang kemudian lahir sebagai kekhasan kudeta a la raja-raja Jawa. “…cara perang tanpa membuka gelar,” Kata Ken Dedes di tengah sesungguk tangisnya.

Kudeta merangkak dan perang proksi inilah yang diyakini terjadi pada 1965.

Di tengah ketegangan banyak segi, antara kekuatan-kekuatan sipil (PKI, PNI, Masyumi, NU), inter faksi TNI (para perwira menengah kere dan para jenderal korup, bekas KNIL vs PETA), antara sipil-militer, serta antara Amerika-Inggris-Soviet-China, masing-masing pihak menyusun strategi, menggerakkan bidak-bidak.

Ketika para perwira pro-Soekarno, Untung cs mengambil langkah oleh provokasi isu Dewan Jendral, Soeharto segera memanfaatkan langkah gegabah mereka untuk membasmi dua lawan sekaligus, Soekarno dan kelompok kiri (PKI, PNI Soekarnois, dan ormas-ormas rakyat).

Seperti Tunggul Ametung, Soekarno kehilangan jabatannya. Seperti Arok, Soeharto berkuasa sekaligus menjadi pahlawan. Seperti para bramana Siwa berdiri di belakang Arok, begitu pula Amerika Serikat dan Inggris berdiri di belakang Soeharto. Seperti Nasution disingkirkan Soeharto, demikian pula kekuasaan Arok menghapus peluang Ken Dedes berkuasa.

Kudeta merangkak dan proxy war ini juga yang dibaca sebagian pihak terjadi pada bulan-bulan akhir tahun kemarin. Mungkin sekedar ketakutan orang-orang paranoid. Mungkin juga kejelian mata nalar mereka yang peka kondisi. Yang pasti, ada dugaan  bahwa para pihak yang berkepentingan akan kekuasaan 'berperang tanpa membuka gelar', memanfaatkan keresahan rakyat atas penggusuran dan kasus ‘penistaan’ agama oleh Ahok pada momentuk Pemilukada DKI, mencoba merangkak menititi tangga menuju istana sebagai sasaran akhir.

Tetapi Arok Dedes bukan sekedar kisah tentang kudeta merangkak dan perang proksi. Ada hal lain yang juga pas jadi cermin untuk masa kini kita. Soal keBHINNEKAan, keberagaman.

Sebagian brahmana, termasuk Ken Dedes berharap kekuasaan Arok akan menegakkan lagi dominasi Hindu Saiwa. Sayang, mereka harus kecewa.

Di dalam pidato pengukuhannya, Arok berkata:

…Baik kaum Wysnu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan Tantrayana, jangan bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa… Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana menyembah para dewa, tapi dharma pada sesamanya.”

Ya, begitulah. Happy birthday, Pram. Bahagia di ujung sana, di dimensi tanpa kudeta, tanpa perang proksi, tanpa pertentangan agama.  Jika benar kabar para pandita itu tentunya.

Baca artikel-artikel lain tentang FILM & BUKU

***
Tilaria Padika
Timor, 7/2/2017
Baca donk: LALONG KADES
Arsip: PUISI Padika |  CERPEN Padika | CATATAN Padika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun