Jadi, hukum memang mengabdi pada kekuasaan. Bahkan pada masa primitif dulu, hanya para tetua, lelaki-lelaki utama, yang berembuk untuk menetapkan peraturan publik. Jika mufakat tak tercapai, jalan keluarnya tarung, perang.”
Jeda lagi. Pak Kobus membiarkan si Wartawan menyelesaikan mencatat, mengejar kata-katanya.
Pak Kobus memajukan posisi duduknya, menatap lekat-lekat pada biji mata lawan bicaranya, lalu bicara lebih lambat dengan intonasi yang memberi tekanan pada setiap kata yang ia anggap penting.
“Maka sebagai pihak yang mengemban amanat rakyat, sebagai kades, sebagai representasi utama dari kelompok yang menang di desa ini, saya berhak untuk menyesuaikan hukum yang berlaku. Sekarang sedang digodok perdes baru, dan akan segera saya informasikan pada Adik jika sudah ditetapkan nanti.”
Sang wartawan tak sempat mencatat seluruh penjelasan Pak Kobus. Beruntung telepon genggam yang ia pakai sebagai alat rekam baru kehabisan baterai setelah teguk terakhir kopinya.
Ia buru-buru pamit, berjanji akan segera mengantar edisi yang memuat profil dan wawancara Pak Kobus segera setelah terbit. Tak lupa, ia ulangi lagi pesan pemred agar Pak Kobus menyiapkan tanda terima kasih.
Sepergi si wartawan, Pak Kobus merenungkan kembali apa yang telah ia sampaikan.
Benar bahwa tak ada niat menguntungkan bisnisnya dengan mempertahankan jabatan kades. Baginya, kemajuan bisnis adalah konsekuensi dari kekuasaannya, bukan tujuan.
Pak Kobus sadar penuh, satu-satunya motivasi untuk kembali berkuasa adalah mengabdi kepada rakyat desa. Tetapi rakyat bukan himpunan tunggal. Rakyat adalah interaksi dari kelompok-kelompok, yang kadang komponen-komponenya ada yang beririsisan, ada pula yang sama sekali terlepas pisah, bahkan berbenturan.
Karena rakyat bukan suatu himpunan tunggal, adalah dongeng para filsuf semata tentang pemerintahan yang bisa mewadahi kepentingan seluruh rakyat. Para filsuf itu berseru tentang apa yang seharusnya, das sollen, normatif. Karena seruan itu sering kali datang dari dunia idealis abstrak mereka, banyak yang tak pernah dan tak akan mungkin mewujud konkrit dalam dunia nyata, menjadi das sein.
Contohnya awal tahun lalu, waktu Pak Obet dan kelompokya, ratusan petani penggarap berunjukrasa ke balai desa dan nyaris bikin huru-hara.