Bagi Kobus Demenuang, terpilih ketiga kali sebagai Kepala Desa Keretapi Blagu sudah harga mati. Ini target strategis, mimpi yang sudah ditulis besar-besar pada mandala diri yang lebar terpampang pada ruang keluarga.
Tidak tanggung-tanggung, seorang pelukis dari Bali didatangkan untuk memastikan papan visi itu terukir indah pada kanvas seukuran baligho calon anggota DPR.
Setiap malam, sebelum santap bersama, Pak Kobus akan memastikan seluruh anggota keluarga memandang mandala diri itu, agar terpatri di dalam batin dan pikiran istri, anak, kakak, adik, sepupu, paman, dan tiap-tiap sanak kerabat yang tinggal di rumahnya. Hal ini diulang kembali sebelum keluarga saleh itu bersembahyang bersama. Tiap-tiap malam.
“Kebiasaan ini penting, agar setiap orang dalam keluarga memahami betul ke mana kita sedang menuju. Jika semua satu pemahaman akan tujuan, gerak langkah akan harmonis, meski tiap-tiap orang berimprovisasi,” penjelasan Pak Kobus kepada wartawan koran kecamatan.
“Tetapi bukankah Bapak telah memiliki segalanya?
Bisnis Bapak berkembang pesat selama dua periode menjabat kades. Dalam hitungan kami, 80 persen modal seluruh BUMDes di Keretapi Blagu berada dalam penguasaan pribadi Bapak. Hanya 15 persen milik pemerintah desa, dan 5 persen sisanya yang dikuasai publik desa.
Lagi pula perdes yang dibuat pada masa pemerintahan Bapak sendiri yang membatasi masa jabatan kades hanya boleh dua periode.”
Sang wartawan mencecar dengan pertanyaan yang seharusnya membuat Pak Kobus mengusirnya.
Tetapi Pak Kobus bukan politisi kacangan. Ia terpelajar.
Sebelum menjadi Kades, Pak Kobus adalah pekerja sosial pada sebuah organisasi nirlaba. Berkat politik balas budi negeri-negeri Eropa serta kepentingan mereka mendapatkan para pekerja terdidik dan orang-orang berjiwa entrepreneur di negeri sasaran pasar dan sumber bahan baku serta tenaga kerja berlimpah ini, Pak Kobus mendapatkan kesempatan studi ke luar negeri.
Tak heran jika dengan hati dan kepala dingin, serta senyum tergurat pada bibir tebal di bawah sebaris kumis yang juga tebal, jawabannya membuat sang wartawan mati kutu.
“Anda salah mengira saya menjadi kades untuk menyokong kepentingan bisnis saya. Itu pandangan determinis ekonomi, reduksioner berbasis konflik kelas, seolah-olah orang kaya berpolitik hanya demi kepentingan melindungi bisnisnya.