Tidak terhindarkan, pertempuran pecah lagi. Bermula di Solo, antara Siliwangi-Barisan Banteng melawan Diponegoro-AURI-Pesindo. Kekalahan di pihak Divisi Diponegoro-AURI-Pesindo, yang membalasnya dengan melucuti pasukan Siliwangi dan Mobrig di Madiun. Walikota Madiun yang sakit meletakkan jabatan. FDR mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat.
Muso, Amir Syarifuddin dan rombongan yang sedang dalam rangkaian safari politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapat kabar peristiwa Madiun, segera membatalkan safari dan bergegas menuju Madiun. Muso marah dan mengeritik tindakan Pesindo dan minta FDR Madiun segera mengirim kabar kepada pemerintah pusat.
Telegram diterima. Tetapi Soekarno telah termakan hasutan bahwa Muso dan PKI hendak memberontak dan membentuk pemerintahan sendiri di Madiun. Dengan marah, Soekarno bicara di RRI mengajak rakyat memilih setia kepada RI di bawah Soekarno-Hatta atau kepada para pemberontak di bawah Muso-Amir.
Mendengar pidato Soekarno, Muso naik pitam. Emosinya mengabaikan jernih timbangan nalar. Dibalasnya berpidato di radio bahwa rakyat Indonesia pasti memilih Muso-Amir dibandingkan Soekarno-Hatta yang ia tuduh sebagai antek imperialis.
Pertempuran tidak terhindarkan lagi. PKI dianggap memberontak. Para tokoh yang banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan itu tewas oleh peluru saudara sebangsa. Jika dahulu Soekarno memohon-mohon kepada Jepang agar Amir Syariffudin jangan dieksekusi mati, kini oleh kemarahan Soekarno, rekan seperjuanganya itu tewas di tangan pasukan pro-pemerintah.
Ironis. Tragis. Demikianlah sejarah berjalan. Hasutan mengawali perang pernyataan, hasutan memicu perang fisik. Antara saudara sebangsa saling bantai. Apakah kita ingin peristiwa itu terjadi lagi? Tentu tidak! Maka berkacalah pada sejarah.
Jadi saran beta, berhentilah mengadu para tokoh. Jangan jadikan Pak SBY dan Pak Jokowi seperti jangkrik atau ayam jago, yang pertarungannya menjadi tontonan menarik dan sumber inspirasi luas bagi kreativitas kita mendesain meme dan menulis artikel. Cukup sudah.
***
Tilaria Padika
Timor, 24/01/2017
Baca donk sebelumnya: CERPEN: Bangsa Kerbau  | CATATAN: Belajar Toleransi dari Negri Lain Itu Perlu