Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hiburan Berbahaya Netizen Kita: Mengadu Politikus di Media Sosial

24 Januari 2017   05:08 Diperbarui: 22 Mei 2018   15:46 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu bukan main sudah kegalauan Pak SBY. Di matanya kondisi bangsa ini sudah sungguh menyedihkan. Menyadari diri tidak berkuasa lagi, tiada lain tumpuannya, sandarannya berkeluh kesah selain Tuhan. Maka diketikkanlah keluhan itu pada twitter agar tersebar luas, agar berbondong-bondong publik turut mengeluh, eh, turut berdoa. “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar "hoax" berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?”

Pak SBY mungkin tidak pernah menduga, niat baiknya berdoa lewat twitter ditanggapi heboh oleh netizen. Mereka mengomentari cuitannya dengan sungguh kejam. Aaahh, hidup ini bertubi-tubi mengirim ketidakadilan pada Pak SBY. Ia kembali di-bully, padahal beta yakin salah satu motif cuitan Pak SBY itu karena pem-bully-an sebelumnya. Apalagi jika bukan soal putra tersayang maju pilgub dan pidato soal lebaran kuda itu.

Netizen memang kejam. Mungkin karena di dunia daring tidak ada presiden, tidak ada lurah, dan warga biasa. Semua pemilik akun berderajat sama. Mungkin itu sebabnya tiada sungkan mereka, penuh tega memperlakukan Pak SBY. Orang-orang di kampung saya bahkan menduga, “Pasti mereka itu sentimen terhadap Pak SBY.” Di kampung saya, sentimen itu bukan kata netral yang bisa positif, boleh negatif. Sentimen haruslah negatif, semacam perasaan tidak senang yang tidak memerlukan alasan. Seolah-olah Pak SBY itu tukang kredit yang datang menagih cicilan di bulan tua.

Oohh hati ini turut sedih. Saya jadi membayangkan Pak SBY itu seperti tokoh Mantri Pasar di dalam Pasar, novel Kuntowijoyo yang terbit 1995 itu.

Mantri Pasar adalah satu-satunya orang Jawa yang tersisa di kecamatan itu. Demikian Kuntowijoyo meringkas karakter tokoh utamanya. Pak Mantri Pasar, si tokoh utama itu, adalah lelaki tua yang penuh nilai-nilai hidup njawani, senang merenungkan peristiwa-peristiwa, mengambil hikmah, lalu membagikannya sebagai petuah kepada Paijo, tukang karcis yang jadi anak buah tunggalnya. Kadang-kadang Mantri Pasar juga berbagi nasihat pada Siti Zaitun, satu-satunya cashier Bank Rakyat yang kebetulan bertetangga kantor dengan mantri pasar. Andai saja sejak dulu sudah ada twitter, tentu si Mantri Pasar lebih suka membaginya di twitter atau sekalian saja di Kompasiana. Pria tua mantri pasar itu juga senang menggubah tembang, berisi ajaran-ajaran hidup dan keluh-kesahnya pada perubahan zaman.

Kasihan sungguh hidup si Mantri Pasar. Petuah-petuah dan maksud baiknya sering ditanggapi keliru oleh Siti Zaitun, perempuan muda yang galak itu. Begitu pula kelakuan orang-orang pasar. Selalu saja mereka timpakan kesialan mereka kepada Mantri Pasar.

Mantri Pasar gemar pelihara Merpati. Banyak sekali jumlahnya, melampaui jumlah pedagang. Merpati-Merpati ini mencari makan sendiri, merampok beras, cabai, dan bebijian dagangan. Para pedagang menolak membayar karcis pasar karena merasa dirugikan Merpati si Mantri Pasar. “Oh, Gusti, mengapa dirinya yang selalu disalahkan,” keluh si mantri.

Mantri Pasar punya musuh diam-diam, musuh platonik, mungkin begitu sebaiknya kita sebut, seorang pedagang kaya, Kasan Ngali namanya. Mantri Pasar dan Kasan Ngali tidak pernah terlibat konflik terbuka. Kadang-kadang hanya perang pernyataan yang disampaikan melalui Paijo. Saat itu memang belum ada twitter, maka jadilah Paijo berperan sebagai twitter.

Novel ini berakhir dengan kesadaran si Mantri Pasar bahwa ternyata dialah yang turut bersalah, selalu menilai dirinya sendiri benar sementara para pedagang pasar dan si Kasan Ngali pasti salah. Maka justru ketika si Mantri Pasar mengalah, ia menjadi pemenang.

Eh, mengapa kita bicarakan tokoh rekaan alm. Kuntowijoyo ini, ya? Ini tidak benar. Pak SBY itu jendral, bekas presiden, tidak boleh disamakan dengan mantri pasar kecamatan. Dengan camat saja tidak pantas.

Kita kembali bicarakan Pak SBY saja, tidak usah membanding-bandingkan dengan orang lain apalagi dengan tokoh fiktif dalam novel.

Baiklah.

Netizen dan pers di zaman ini sungguh jahil, usil. Tidak cukup sekedar mem-bully, mereka mengadu Pak SBY dengan Pak Jokowi. Apa yang Pak SBY cuit-kan dikonfrontir kepada Pak Jokowi.

Pak Jokowi tentu serba salah. Mau diam saja, netizen dan pers akan memberi judul, “Jokowi Anggap SBY Angin Lalu.” Maka Pak Jokowi memberi tanggapan. Ia bilang, “…semua negara juga menghadapi enggak perlu banyak keluhan, ya. … Kalau saya kerja itu selalu membangun sebuah optimis, selalu mendorong masyarakat itu bekerja lebih optimis, ya.” Ealah, celaka! Bersoraklah netizen, bergembiralah pekerja media. “Jokowi Sindir SBY Tidak Optimis, Banyak Mengeluh” sepertinya akan menjadi judul yang menarik.

Keterlaluan memang netizen dan pers ini. Mereka jadikan para tokoh bangsa layaknya jangkrik aduan, seperti ayam jago gemar kelahi. Dipancing-pancingnya perang pernyataan antara tokoh-tokoh itu. Jika termakan, giranglah mereka, ngakak sepuas-puasnya sebab mendapat bahan lelucon, mendapat ide untuk membuat meme di medsos dan artikel di Kompasiana. Teeerlaalu!

Yah, mau bilang apa lagi. Orang Indonesia memang kurang hiburan. Sialnya sungguh kreatif mereka ciptakan hiburan sendiri. Tak ada jangkrik, tak ada ayam jago, elit politik pun bolehlah.

Beta cuma berharap para tokoh kita tidak terpancing panas hati dan mengambil tindakan yang merugikan bangsa. Beta kuatir, perang pernyataan ini menjadi kian gawat dan menjalar ke mana-mana. Opa Bintang Pamungkas dan Oma Rahmawati sudah jadi korban.

Kekhawatiran beta bukan lebai tanpa dasar. Ini sudah pernah terjadi dalam sejarah bangsa kita.

Anda mungkin tidak tahu bahwa Indonesia 1948 adalah masa penuh ketegangan. Belanda baru saja mencaplok sebagian wilayah Republik melalui agresi militer pertama. Pemerintahan Amif Syarifuddin jatuh ketika PNI dan Masyumi menarik diri dari dukungan mereka terhadap perundingan Linggarjati. Hatta dari Masyumi menggantikan Amir yang PKI.

Muso kembali dari Rusia membawa usulan Jalan Baru, Front Persatuan Nasional untuk melawan imperialisme. Ia menawarkannya kepada PNI dan Masyumi namun mendapat penolakan. Sambil menunggu respon partai-partai lain, PKI dan sekutu-sekutu dekatnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR), group inti Front Persatuan Nasional. Di sudut, Tan Malaka dan Murba-nya yang menolak jalur diplomasi dan mengutamakan perjuangan bersenjata melawan agresi militer Belanda terus berusaha menikam PKI sambil menyerang kekuatan politik lain. Persaingan dan pertarungan di antara kekuatan masyarakat sipil kian memanas.

Hatta menjalankan pemerintahannya dengan prioritas program rekonstruksi dan rasionalisasi angkatan perang (Rera). Kebijakan ini berkonsekuensi pada perampingan angkatan perang. Laskar rakyat harus dibubarkan. TNI hanya bisa diisi oleh lulusan KNIL (sekolah militer Belanda) dan Peta (Sekolah militer Jepang). Laskar-laskar rakyat yang banyak tergabung di dalam Divisi IV Panembahan Senopati/Diponegoro menolak kebijakan Rera. Hatta marah. Ia mengirimkan Nasution bersama Divisi Siliwangi yang juga sedang melakukan hijrah dari wilayah-wilayah pendudukan Belanda untuk melucuti Divisi IV Diponegoro. Ketegangan antara dua pasukan itu berbuah aksi saling culik. Dimulai oleh Siliwangi, dibalas oleh Diponegoro dan AURI.

Kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV Diponigoro tewas ditangan pasukan Siliwangi. Pesindo, laskar pemuda yang berada di bawah pengaruh PKI masuk gelanggang, membalas dengan menyerang tokoh-tokoh yang dianggap lawan politik. DR Mawardi, tokoh Barisan Banteng, laskar yang berada di bawah pengaruh PNI tewas. Barisan Banteng Marah.

Tidak terhindarkan, pertempuran pecah lagi. Bermula di Solo, antara Siliwangi-Barisan Banteng melawan Diponegoro-AURI-Pesindo. Kekalahan di pihak Divisi Diponegoro-AURI-Pesindo, yang membalasnya dengan melucuti pasukan Siliwangi dan Mobrig di Madiun. Walikota Madiun yang sakit meletakkan jabatan. FDR mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat.

Muso, Amir Syarifuddin dan rombongan yang sedang dalam rangkaian safari politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapat kabar peristiwa Madiun, segera membatalkan safari dan bergegas menuju Madiun. Muso marah dan mengeritik tindakan Pesindo dan minta FDR Madiun segera mengirim kabar kepada pemerintah pusat.

Telegram diterima. Tetapi Soekarno telah termakan hasutan bahwa Muso dan PKI hendak memberontak dan membentuk pemerintahan sendiri di Madiun. Dengan marah, Soekarno bicara di RRI mengajak rakyat memilih setia kepada RI di bawah Soekarno-Hatta atau kepada para pemberontak di bawah Muso-Amir.

Mendengar pidato Soekarno, Muso naik pitam. Emosinya mengabaikan jernih timbangan nalar. Dibalasnya berpidato di radio bahwa rakyat Indonesia pasti memilih Muso-Amir dibandingkan Soekarno-Hatta yang ia tuduh sebagai antek imperialis.

Pertempuran tidak terhindarkan lagi. PKI dianggap memberontak. Para tokoh yang banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan itu tewas oleh peluru saudara sebangsa. Jika dahulu Soekarno memohon-mohon kepada Jepang agar Amir Syariffudin jangan dieksekusi mati, kini oleh kemarahan Soekarno, rekan seperjuanganya itu tewas di tangan pasukan pro-pemerintah.

Ironis. Tragis. Demikianlah sejarah berjalan. Hasutan mengawali perang pernyataan, hasutan memicu perang fisik. Antara saudara sebangsa saling bantai. Apakah kita ingin peristiwa itu terjadi lagi? Tentu tidak! Maka berkacalah pada sejarah.

Jadi saran beta, berhentilah mengadu para tokoh. Jangan jadikan Pak SBY dan Pak Jokowi seperti jangkrik atau ayam jago, yang pertarungannya menjadi tontonan menarik dan sumber inspirasi luas bagi kreativitas kita mendesain meme dan menulis artikel. Cukup sudah.

Baca artikel-artikel lain tentang FILM & BUKU

***

Tilaria Padika
Timor, 24/01/2017

Baca donk sebelumnya: CERPEN: Bangsa Kerbau   | CATATAN: Belajar Toleransi dari Negri Lain Itu Perlu

Lihat kumpulan artikel: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun