Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bangsa Kerbau!

23 Januari 2017   07:49 Diperbarui: 24 Januari 2017   08:38 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sekeliling gelap gulita. Tiada terlihat suatu apapun, bahkan tubuhnya. Hanya kepala, rambut putih seluruh oleh uban,  kulit wajah penuh keriput seperti onggok baju belum diseterika, dan tajam sorot matanya. Mulutnya melontarkan amarah yang entah kepada siapa. “Pejabat kebo, pemimpin kebo, generasi Kebo! Berani-beraninya para pahlawan dijadikan Kerbau.” Demikian ia berkata, lalu sirna begitu saja. Tidak ada lain hal yang beta ingat.

Mimpi apa itu? Hmmm, mungkin bukan apa-apa, sekedar kembang tidur yang salah tumbuh. Tidak pernah di dalam hidup beta berjumpa wajah yang demikian. Atau, ah jangan-jangan ini keberuntungan. Beta segera meletakkan gelas kopi, bergegas ke kamar untuk mengambil telepon genggam.

“Hallo, Oom. Sudah bangun? Ah, syukurlah. Oom, kalau siang nanti Oom pasang togel, saya titip pasang Shio Kerbau. Pasang seratus ribu saja. Iya, hanya shio Kerbau.” Beta hubungi paman yang gemar pasang Toto. Tentu saja Toto gelap sebab judi terlarang bagi umum. Umum bukan sinonim publik. Umum di sini maksudnya secara formal dilarang tetapi diam-diam bolehlah tetap berlangsung asalkan setoran kepada yang berwenang terjamin lancar.

“Iya, Oom, mimpi. Tidak jelas mimpinya. Hanya wajah lelaki tua katakan kerbau berulang kali. … Tidak. wajah yang asing, Oom. Bukan kerabat, apalagi famili. Seperti bukan orang kita. ... Baik, Oom, terima kasih. Sore nanti saya ganti uangnya.”

Beta menutup percakapan, lalu beranjak mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Selanjutnya pagi berjalan seperti kemarin dan kemarin, sebagaimana biasa. Begitu pula hari berjalan hingga malam menua.

***

Bangsa beradab tahu menghormati para pahlawan tanpa pandang bulu. Apa karena hanya laskar-laskar rakyat para kusuma bangsa itu lantas boleh disimbolkan Kebo? Heh, memangnya pertempuran mana yang tentara negara menangkan? Ambarawa, Surabawa, Palembang, Semarang, Bali, semuanya laskar rakyat. Hanya Bandung yang lebih banyak peran tentara negara. Itu juga kocar-kacir pergi setelah membakar kota. Huh, apa Kebo yang bikin merdeka? Apa Kebo yang pasang badan pada hujan peluru penjajah?”

Orang tua itu kembali muncul dan bersungut-sungut. Kali ini seluruh tubuh tampak tetapi berdiri punggungi beta. Beta lupa apa lagi hal-hal yang muncul. Hanya punggung dan kata-katanya yang berjejak pada ingatan.

Hmmm, dua malam berturut-turut, tentu bukan mimpi biasa. Oh, iya, kemarin beta pasang shio Kerbau. Apa hasilnya ya?.

“Hallo, hallo Oom. … Bagaimana yang kemarin, Oom? … Iya, soal shio Kerbau itu.”

Aduh, Nak, shio Kambing yang keluar. Mungkin kita kurang menafsir dengan baik. Pertanda yang muncul harus dianalisis dulu. Biasanya tidak keluar mentah-mentah. Kerbau pada mimpi bisa saja artinya Kambing. Harusnya ditanya saat mimpi itu, Kerbaunya kecil atau besar. Jika kecil, Kambinglah artinya.”

“Begitu ya, Oom. Begini, malam tadi saya mimpi lagi. Masih lelaki tua itu. Ia kembali bicara tentang Kerbau, ngomel-ngomel tentang pahlawan.”

Apa tampak Kerbaunya? Kecil atau besar? Berapa ekor?”

“Tidak ada, Oom. Hanya lelaki itu. Yang lain-lain tidak tampak. Lelaki tua itu pun hanya tampak punggungnya. Kaki hingga kepala sebenarnya, tetapi karena ia berdiri membelakangi, perhatian saya hanya pada punggung yang tampak membungkuk.”

Kalau begitu bisa Kerbau, bisa juga Kuda. Sebab hewan dalam shio yang ditunggangi punggungnya hanya Kerbau dan Kuda. Lelaki itu kurus atau gemuk?

“Kurus, Oom. Iya, sepertinya kurus.”

Ah, tentulah itu Kuda. Soal Kerbau, itu hanya simbol hewan pemakan rumput. Pastilah itu Kuda.”

“Baik, Oom. Saya titip lagi kalau begitu. Kerbau seratus ribu, Kuda seratus ribu. Sore nanti saya bayar sekalian dengan yang kemarin itu. Atau saya transfer saja jika tidak sempat singgah ke rumah.”

Baik…baik.”

Beta menutup telepon, lantas melanjutkan menikmati kopi dan rokok. Masih ada sejam untuk mandi, sarapan, lalu berangkat ke kantor untuk berjumpa rutinitas.

***

Ruang tunggu bandara sudah ramai oleh orang-orang yang bepergian dengan penerbangan pagi. Yang beta tidak suka dengan bepergian untuk urusan kantor adalah harus dengan penerbangan pertama sebab pada jam begitulah maskapi yang sesuai standar kantor terbang. Sudah sejak jam 5 tadi beta buru-buru persiapkan diri dan perlengkapan. Tidak sempat sarapan pula. Huuuhh, rasa kantuk belum sungguh pergi.

Ah, benar, bukankah semalam beta bermimpi lagi? Tentang apa ya? Bukan, bukan lelaki tua gemar marah-marah itu. Kerbau, ya segerombolan kerbau merumput. Aiiiiih, mengerikan benar. Mereka merumput di atas gelimpangan tubuh-tubuh manusia. Orang-orang mati, tubuh-tubuh penuh darah.

Eh, bagaimana hasil tarikan Toto kemarin?

Beta baru akan menelepon paman ketika dari pengeras suara terdengar pengumuman agar penumpang flight number sekian sekian segera boarding. Itu penerbangan beta. Baiklah, nanti saja setelah mendarat beta telepon.

***

Hallo, selamat pagiiii. Ada yang bisa kami bantu?” Renyah suara dan ramah paras penunggu frontdesk lobby hotel itu menyapa.

“Iya, Dik. Saya dipesankan menginap di sini. Ini voucher hotel saya.” Beta menyodorkan gawai. Pada layarnya terpampang file voucher hotel.

Sebentar, Pak. Saya cek dulu.” Ia mengetikkan sesuatu pada layar komputernya. “Benar, Pak. Nama Bapak sudah ada. Tetapi baru jam 1 siang nanti Bapak bisa check in.”

“Oh begitu, ya. Apa saya bisa titip tas dulu? Saya hendak jalan-jalan sebentar. Nanti jam 1 saya kembali.”

Tentu bisa, Pak.” Ia segera menyambut koper yang beta sodorkan, menyimpannya di ruang penitipan barang, membuatkan tanda terima dan menyerahkan pada beta.

Tidak lama kemudian beta sudah susuri trotoar sepanjang Jalan yang dulu dikenal sebagai Jalan Sungai Asam. Lalu lintas sudah mulai padat. Di trotoar orang-orang bergegas, anak-anak dan remaja menuju sekolah, dan para karyawan berlomba tiba lebih pagi dengan bos-bos mereka.

Tanpa sadar, sudah tibalah beta di ujung jalan, sebuah belokan yang bersambung ke jalan lain. Ah, apa itu di pojok? Sekumpulan patung Kerbau. Ada penunggangnya pula. Penasaran, beta berjalan mendekat. Hmmm, sepertinya patung ini terbuat dari campuran tembaga dan semen sehingga warnanya bisa hitam begini. Kurang terawat. Sejumlah bagian sompak. Mungkin termakan usia, bisa juga korban tangan jahil.

Pagi, Mas. Jalan-jalan pagi, Mas?” Seorang perempuan muda menyapa.

“Eh, iya Dik. Jalan-jalan juga? Apa itu kembang Melati?” Beta menatap helaian bunga-bunga di tangannya.

Iya, Mas. Mau saya taburi di sini. Sudah kebiasaan setiap tanggal segini.” Ia menjelaskan tanpa beta minta.

“Begitu ya? Maaf, apa Adik semacam penganut aliran kepercayaan yang memuja Dewa Kerbau?”

Ia tersenyum. “Bukan, Mas, bukan. Pertama ini bukan Kebo, ini saudaranya. Kedua, ini kembang Melati untuk mengenang kusuma bangsa.”

“Ah, jadi patung ini lambang para pahlawan?” Beta tiba-tiba teringat mimpi-mimpi itu.

Bukan, Mas. Di sini dulu gugur pemuda-pemuda di dalam pertempuran melawan penjajah. Banyak orang. Mereka mempertahankan satu-satunya senapan mesin di sini, memuntahkan peluru untuk menghalau pasukan musuh yang bergerak menguasai kota. Satu tewas, yang lain gantikan, begitu seterusnya hingga bergelimpangan tubuh-tubuh pejuang di sini.

Saya terhenyak. Wajah lelaki tua di dalam mimpi membayang dalam ingatan. “Lalu patung ini?”

Hmmm, sepertinya tidak ada hubungannya, Mas. Patung ini dibuat 26 tahun lampau oleh seorang seniman Bali atas order pemerintah.”

“Mengapa Kerbau?”

Ia tersenyum lagi. “Bukan Kerbau, Mas. Menurut cerita ayah, patung ini perlambang kemakmuran, simbol bangsa ini akan lepas-landas,  gembar-gembor pemerintah saat itu.

“Jadi tidak ada hubungannya dengan para pahlawan? Mengapa tidak digantikan saja dengan patung pahlawan?”

Ada yang pernah usulkan itu. Tetapi riskan, Mas. Soalnya patung ini simbol adat-istiadat salah satu suku di sini. Jadi ya biarkan saja.

“Begitu ya. Lalu mengapa Adik yang menyebar kembang melati di sini? Adik anggota semacam perkumpulan peminat sejarah atau apa begitu?”

Ah, tidak. Ini wasiat almarhum ayah. Kakek saya salah satu yang tewas di sini. Selain demi Kakek, ini cara mengingat jasa para pahlawan. Kata ayah, zaman sekarang negeri ini terjajah di lapangan ekonomi karena kurangnya penghargaan atas prinsip-prinsip kemerdekaan dan kedaulatan yang diperjuangkan orang-orang dahulu.”

Ah, kata-kata Kakek pemarah di dalam mimpi kembali terngiang-ngiang.

Saya pamit dulu, Mas. Sudah selesai. Permisi.” Perempuan muda itu berlalu.

Beta tertegun, menatap lama pada Kerbau-kerbau beton-tembaga hitam itu. Lamat-lamat di dalam ingatan, lirih puisi terucap:

“Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang meneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malammu
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut”

Demikian tertoreh pada makam Ali Archam, pemikir dan pejuang kemerdekaan yang dibuang Belanda di Boven Digul pada 1924 dan meninggal di sana pada1933.

***
Tilaria Padika
Timor, 22/01/2017
Baca cerpen lain: - KEAJAIBAN  -  Yang OBJEKTIF dan yang subjektif
Lihat juga: PUISIPadika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun