Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika Wiji Thukul Singgahi Kupang

20 Januari 2017   07:43 Diperbarui: 31 Mei 2020   21:44 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istirahatlah Kata-Kata” merupakan film nasional ketiga tentang kisah aktivis di dalam pangasingan yang beta tonton. Yang pertama “Soekarno”-nya Hanung (Bung Karno di dalam pembuangan di Bengkulu) dan yang kedua adalah film “Ketika Bung di Ende” (Bung Karno selama masa pembuangan di Ende).

Beta akan membandingkan “Istirahatlah Kata-Kata” dan “Ketika Bung di Ende.” Beta rasa tidak perlu mengikutsertakan “Soekarno”-nya Hanung yang gagal menampilkan kondisi psikologis aktivis dalam pembuangan (Soekarno-nya Hanung tampak enjoy saja dengan pembuanganya, riang gembira berpacaran dengan Fatmawati).

Sumber: Sastrabanget.com
Sumber: Sastrabanget.com
Ketika Bung di Ende” dan “Istirahatlah Kata-Kata” sama-sama menampilkan sosok aktivis yang manusiawi, yang tidak lepas dari ketakutan, kegundahan, dan kecemasan. Namun di dalam “Ketika Bung di Ende,” Soekarno tidak sekedar mencemaskan dirinya dan keluarganya, tetapi juga cemas akan keberlanjutan perjuangan kemerdekaan.

Ketika Bung di Ende” dipenuhi dialog-dialog berkualitas dan idelogis, misalnya antara Asmara Hadi dengan Bung Karno. Asmara Hadi menanyakan bagaimana Bung Karno bisa mensintesiskan Marxisme dan religiositas. Bung Karno menjawab, “Marxisme-ku adalah Marxisme yang di dalamnya bergaung suara Tuhan.” Asmara Hadi pun menyimpulkannya sebagai Sosio-Demokrasi dan Sosio-Nasionalisme yang berlandaskan KeTuhanan (Pancasila sebagai Marxime berlandaskan Ketuhanan). Bahkan untuk lebih menghadirkan percakapan mendalam, Martin Paraja dihidupkan untuk bercakap-cakap meski sebentar dengan Soekarno. Martin Paradja adalah tokoh pemberontakan di atas Kapal Perang De Zeven Provincien (kapal Tujuh) tahun 1933, dan gugur di dalam pemberontakan itu.  Film ini juga menunjukkan upaya Bung Karno mengorganisasikan kesadaran dan perlawanan lewat teater.

Di dalam “Istirahatlah Kata-Kata,” Yosep Anggi tidak menghadirkan kondisi  Wiji Thukul yang mencemaskan kelanjutan perjuangan selama masa crack down. Percakapan antara dirinya dengan sejumlah kawan yang menampungnya pun sangat biasa. Sekadar 'rezim ini bangsat yang takut pada kata-kata'.

Memang, membandingkan Soekarno di Ende dan Wiji di Pontianak kurang adil. Di Ende Bung Karno sudah cukup jelas nasipnya, “hanya” dibuang, tidak akan dibunuh. Di Pontianak, Wiji tidak dapat memastikan bagaimana jika dia ditangkap, apakah sekedar dipenjarakan atau di-dor lalu dilempar ke dasar Kapuas.

Meskipun begitu, beta tidak percaya jika Thukul selama pelariannya tidak berusaha mencari tahu keberadaan kawan-kawan lain; menanyakan instruksi dari pimpinan –di luar pimpinan legal yang ditangkap— tentang langkah-langkah konsolidasi yang perlu dilakukan selama pelarian; atau bersama kawan-kawan yang menampungnya berdiskusi tentang perkembangan situasi dan merumuskan langkah-langkah menjaga kobar perjuangan.

Dalam keyakinan beta, momentum Istirahatlah Kata-Kata adalah adalah momentum mundur satu langkah, ketika tuntutan-tuntutan hening sejenak demi keselamatan. Mundur bukan berarti menyerah, bukan lari dari medan. Mundur adalah mengambil napas untuk berkonsolidasi, mengatur kuda-kuda untuk maju dua langkah. Menanggalkan watak tak kenal menyerah dari sosok Wiji Thukul selama di pembuangan justru membuat Wiji tidak alamiah.

Betul bahwa crack down 1996 menyebabkan banyak kader tiarap. Tetapi bukankah masih ada setidaknya 100 pimpinan dan anggota yang saat itu masih terkonsolidasi dan terus berjuang di bawah tanah? Beta yakin Thukul bagian dari itu. Sekurang-kurangnya ia berusaha mencari tahu kelanjutan perjuangan di Jawa dan tetap berdiskusi dengan sejumlah aktivis muda di Pontianak.

Thukul sendiri mengatakan demikian.:
"…
kelahiran tak mungkin dihentikan, tak mungkin
rindu kenangan kecemasan kuendapkan
keraguan, ketakutan kupisahkan
kugerakkan tanganku, kugerakkan pikiranku
aku membaca, menyalin, mendengar, aku bergerak
tak menyerah aku pada tipu daya bahasamu
yang keruh dan penuh genangan darah
aku menulis, aku menulis, terus menulis
sekalipun teror mengepung"
(
Puisi di Kamar, 11 November 96)

Bagi para pejuang seangkatan Wiji Thukul, film ini mudah dinikmati karena mereka dibantu oleh pangalaman nyata akan saat itu. Tidak perlu sebuah film, sekadar poster Wiji Thukul dan rekaman suaranya pun mampu membawa mereka berkelana kembali ke masa kelam tapi heroik itu. Suka duka, ketegangan, romantika, bahkan bau tinta stensil, selokan pabrik, dan pengap kontrakan sempit di masa itu dapat dengan mudah hadir kembali bagi mereka. Tidak demikian halnya dengan generasi pemuda hari ini yang tidak pernah bisa membayangkan jika sekadar status gundah pada kekuasaan di dinding facebook bisa berujung pencidukan dan beberapa malam diinterogasi di Korem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun