“Lalu menurutmu bagaimana baiknya, Orang tua?” Saya kian gemas tak sabar.
“Orang harus dilatih untuk taat pada perangkat komunikasi, yaitu argumentasi dan pembuktian. Tidak ada jalan lain. Lawanlah hoax dengan argumentasi dan bukti-bukti. Itulah tindakan komunikatif. Itu lah komunikasi normal. Sementara hoax dan segala macam lembaga pengontrol adalah parasit, adalah patologis yang menghambat terbentuknya adab demokratis, adab rasional.”
“Ah, itu sulit, Orang tua.”
“Sulit tetapi lebih baik. Apakah kaularang anak bermain lilin dengan cara memberikannya obor?”
Benar juga si tua Bangka ini. Melarang masyarakat menyebarkan hoax dengan membiarkan pemerintah membatasi komunikasi. Hoax dan pelarangan oleh otoritas adalah sama-sama perangkat non-komunikasi, sama-sama bersifat memaksakan kemenangan narasi dengan cara curang. Yang satu penipuan, yang lain pengekangan. Apalagi jika penguasa memanfaatkan lembaga-lembaga itu untuk melindungi dirinya dari kritik masyarakat. Bukankah sejarah bangsa ini memang demikian adanya.
“Aahhh, sudah habis kopi lezat ini. Anak muda, Aku harus pamit dulu. Terima kasih kopi dan waktumu.”
“Sebentar! Siapa namamu, Orang tua?
“Panggil saja Yurgen.”
“Baiklah Kakek Yurgen. Boleh suatu waktu kaubawakan bukumu itu?”
“Ah, kaupunya itu, Anak muda. Lihat yang ketiga dari kanan di baris teratas rak bukumu yang sebelah kiri. Pun kaupernah membacanya. Hanya saja hiruk-pikuk hidup membuatmu lupa.”
Saya mengambil kursi, berdiri di atasnya untuk menjangkau buku dimaksud. Upps, ini dia. The Theory of Communicative Action.