Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bu Mega Yakin Tak Lupa "Jasmerah"?

11 Januari 2017   06:13 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 2874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO

Bu Megawati kembali tampil ke publik. Sebagai Singa Podium, ia berorasi di dalam peringatan harlah PDIP ke-44, 10/01/2017 (PDIP bukannya baru lahir sejak 1999, ya?). Senang rasanya melihat ketua partai pemenang pemilu bicara tegas tentang posisi partainya terhadap sejumlah problem aktual bangsa.

Yang saya tangkap, setidaknya ada dua persoalan kebangsaan utama yang disorot Bu Mega. Pertama tentang menguatnya kecenderungan politik identitas, menguatnya sayap politik kaum fundamentalis agama yang membahayakan persatuan bangsa. Kedua tentang upaya-upaya merongrong pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala.

Menonton dan membaca pidato Bu Mega, reaksi hati saya berubah-ubah bagai kerlip lampu Natal, seperti jejak permen nano-nano pada syaraf lidah. Kadang hati girang bertepuk tangan, kadang dahi berkerut, kadang bibir mencibir. Hati saya, lho. Bukan saya.

Saya akan menceritakan reaksi hati mulai dari yang gembira dulu.

Hati girang bukan main ketika Bu Mega bicara tentang kepribadian bangsa. Bu Mega mengingatkan kita kata-kata Bung Karno. Intinya: apapun agamamu, ingatlah, kau tetap orang Indonesia. Sebagai orang Indonesia, berbeda-beda agamamu, hormatilah perbedaan itu agar dengan demikian kita tetap utuh sebagai bangsa.

Hati saya bertambah-tambah riangnya, sampai melonjak kegirangan segala ketika Bu Mega mengatakan dengan lantang, “Jadilah Banteng Sejati di dalam membela keberagaman dan kebhinekaan. Berdirilah di garda terdepan, menjadi tameng yang kokoh untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hampir saja hati saya orgasme saat Bu Mega mengatakan, “Kebhinekaan harus disertai dengan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat!”

Setuju, Bu. Tanpa kesejahteraan bagi seluruh, tanpa keadilan sosial, tidak akan ada perdamaian sejati. Tanpa kesejahteraan dan keadilan, orang-orang akan saling sikut mencari selamat sendiri. Orang-orang akan saling tuding sekaligus mencari sekutu masing-masing. Demikianlah lahir politik berbasis identitas agama dan suku. Hal ini pula yang saya angkat dalam metafora pada dongeng “Hantu Koplak Undercover.”

Tetapi suasana hati gagal mencapai puncak riang ketika tiba-tiba muncul pernyataan Kita tidak perlu reaksioner, tetapi sudah saatnya silent majority bersuara dan menggalang kekuatan bersama.”

Saya setuju, silent majority harus diberanikan bersuara. Jangan bungkam sebab negeri ini milik semua. Tetapi kok terasa ganjil ya, ketika yang mengatakan ini adalah elit politik penguasa, PDIP yang kadernya sedang menjabat Presiden RI.

Alih-alih silent majority, para elit PDIP adalah powerful minority. Para elit di dalam barisan powerful minority ini berdiri di seberang, berhadap-hadapan dengan silent majority, rakyat. Rakyat yang terancam daya dukung alamnya bagi sumber penghidupan karena eksploitasi kawasan kars oleh pabrik semen. Rakyat tani yang tergusur lahannya dirampas perusahaan-perusahaan, juga demi pembangunan infrastruktur sebagai agenda penyelamatan ekonomi. Buruh yang kenaikan upahnya tidak mampu mengejar inflasi.

Bahkan rakyat bukan sekadar silent majority. Mereka kini cenderung menjadi muted majority, dipaksa bungkam dengan kriminalisasi ketika bersuara protes. Ya, mereka muted majority, seperti Srikandi Kendeng, warga Pak Ganjar yang kader terkemuka PDIP itu; seperti 39 aktivis yang dipenjarakan ketika Bu Mega menjadi presiden pada Juli 2001 dahulu.[1]

Betul, Bu. Rakyat harus didorong berteriak tentang hak-hak mereka yang terampas; teriak tentang Trisakti yang tinggal bisik sayup masa kampanye 3 tahun lampau. Tentu Bu Mega tak sedikit pun bermaksud mengajak mereka berteriak, “Berikan jatah kursi pimpinan DPR untuk PDIP.”

Pada bagian awal pidato, hati saya sempat mencibirkan bibir ketika Bu Mega bicara tentang pemerintahan yang stabil sebagai landasan strukturil untuk mencapai cita-cita bangsa. Kata Bu Mega, demi landasan strukturil inilah “PDI Perjuangan selalu ikut dan berdiri kokoh menjaga jalannya pemerintah Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemerintahan yang terpilih secara konstitusional.

Pada bagian ini Bu Mega seolah-olah menyatakan bahwa kukuh upaya PDIP mempertahankan keberlangsungan Pemerintahan Jokowi-JK didorong oleh motivasi yang objektif sifatnya: kepentingan bangsa. Jadi bukan karena Jokowi adalah kader PDIP dan berarti pemerintahan ini adalah pemerintahan PDIP.

Saya jadi bertanya-tanya, dahulu Bu Mega dan PDIP ada di mana ketika Presiden Gus Dur diturunkan di tengah jalan oleh DPR –kudeta parlemen, demikian kata para aktivis prodemokrasi ketika itu— dan jabatan presiden digantikan oleh wakilnya? Apakah Bu Mega dan teman-teman PDIP yakin jika tidak sedang lupa nasihat Bung Karno soal Jasmerah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah?

Saya tidak keberatan dan sungguh paham jika PDIP berkepentingan subjektif terhadap kelanjutan pemerintahannya, kelanjutan kekuasaan kadernya, Presiden Joko Widodo. Tetapi menyatakan hal tersebut sebagai kepentingan objektif PDIP demi bangsa, sementara dalam sejarah PDIP ikut menikmati keuntungan diturunkannya Presiden Gus Dur di tengah jalan, bagi saya, mohon maaf, tampak sebagai sementah-mentahnya demagog. Saya yakin banyak penyimak berita yang turut mencibir pada bagian ini.

Akhirnya, malam tadi saya berakhir dengan mules-mules ketika Pak Presiden Jokowi menyatakan Bu Mega sebagai pejuang demokrasi. Saran saya, mungkin Pak Jokowi bisa minta kepada para staf untuk memberikan data, membanding-bandingkan, setelah Orde Baru-Soeharto tumbang, pada masa kekuasaan siapa paling banyak aktivis prodemokrasi dipenjara dengan menggunakan pasal-pasal karet, haatzai artikelen yang juga dulu digunakan Kolonialis Belanda untuk memenjarakan Bung Karno. Mungkin saya salah mengingat jika itu terjadi di masa pemerintahan Bu Mega.

Akhir kata, perlu diketahui, artikel ini sama sekali tidak bermaksud merongrong keberlangsungan pemerintahan Jokowi-JK. Tentu saya kecewa pada pemerintahan Jokowi-JK yang tampak lupa akan janji Trisakti ketika kampanye dahulu. Tetapi bagi saya tetap lebih baik Jokowi-JK dibanding  calon lainnya. Ketika pilihan A mengecewakan dan karena itu merupakan pilihan yang salah, bukan berarti pilihan B otomatis benar.

Untuk haters dan blind lovers, sorry kalau tidak sesuai apa yang ingin Anda baca.

Tabe. (TP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun