Kamu sering lewat kawasan Titik Nol Kilometer tapi belum pernah menengok sejarahnya? Nah beberapa minggu lalu saya sengaja singgah ke sini untuk bernostalgia mengenai sejarah kawasan jantung kota Yogyakarta ini. Dalam event ke-7 Kompasiana Jogja, saya dan teman-teman Kompasianer #dolanheritage ke Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Banyak cerita sejarah kawasan Titik Nol Kilometer yang dikisahkan oleh Yulia Sujarwo seorang tour guide sekaligus penulis yang menyukai sejarah ini.
Titik Nol Kilometer Yogyakarta berada di pusat Kota Yogyakarta, tak jauh dari Jalan Malioboro. Kawasan ini merupakan pertemuan dari Jalan A. Yani, Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Panembahan Senopati, dan ruas jalan menuju Alun-alun Utara (Keraton). Bisa dibilang Titik Nol Kilometer adalah denyut nadi kota Jogja.
Spot ini selain sebagai pusat yang menghubungkan ke berbagai rute di Jogja juga sangat dekat dengan sejarah dan kebudayaan Jogja. Sebagai sebuah persimpangan yang terdiri dari empat jalur, di setiap sisinya terdapat bangunan yang bersejarah. Yah kawasan ini merupakan salah satu saksi bisu sejarah panjang dari negeri ini.
Titik Nol Kilometer bisa disebut sebagai Eropanya Jogja. Alasannya karena kawasan ini dikelilingi oleh bangunan kuno yang menjadi cagar budaya. Jadi tak heran jika banyak bangunan peninggalan Belanda yang disebut 'Loji' terletak di kawasan Titik Nol Kilometer.
Saat senja menjelang, kawasan ini akan dipenuhi oleh muda-mudi dan para wisatawan yang ingin menikmati suasana Jogja. Pemusik dan penyanyi jalanan siap menghiburmu tatkala malam tiba. Sembari bersantai, kamu pun bisa menikmati aneka penganan yang dijajakan oleh pedagang kaki lima.
Sebagai jantung kota Jogja, kawasan Titik Nol Kilometer selalu diramaikan dengan beragam atraksi seni budaya hingga aksi massa. Aneka karnaval meriah dan pawai budaya tingkat daerah hingga tingkat internasional kerap dilakukan di tempat ini. Kegiatan tersebut menjadi agenda rutin yang dilangsungkan tiap tahun. Berbagai komunitas di Yogyakarta juga kerap unjuk gigi di sekitar kawasan Titik Nol Kilometer.
Panggung Krapyak ke utara menuju ke Keraton melambangkan perjalanan manusia dari bayi lahir hingga dewasa, sedangkan dari Tugu ke Keraton melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta. Sumbu filosofis itu mempunyai makna hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dengan sesama serta manusia dengan alam.
Yah kawasan di sekitar Titik Nol Kilometer merupakan kawasan penting pada masa lalu hingga kini. Sebut saja Gedung Bank BNI, Gedung Bank Indonesia, dan Gedung Kantor Pos Besar yang berdiri gagah ini menjadi landmark di Titik Nol Kilometer. Dari mbak Yulia Sujarwo saya pun mengetahui jika di sekitar Nol Kilometer dahulu terdapat kawasan taman yang indah dan perumahan warga Belanda serta Eropa. Namun sekarang sudah hilang tak berbekas. Bundaran air mancur yang berada di Titik Nol Kilometer pun sudah tidak bisa di lihat lagi saat ini.
Sebelum difungsikan sebagai istana kepresidenan, Gedung Agung merupakan kantor sekaligus tempat tinggal Residen Belanda. Bangunan ini pun sempat berpindah tangan ke pemerintahan Jepang, sebelum akhirnya diambil alih oleh Indonesia dan dijadikan istana kepresidenan. Gedung yang mulai dibangun pada Mei 1824 ini menempati lahan seluas 43, 575 meter persegi. Hingga sekarang masih difungsikan. Jika Presiden RI ada kunjungan kerja di Yogyakarta, beliau akan tinggal di Gedung Agung.
Selain dikelilingi bangunan-bangunan yang megah, di kawasan Titik Nol Kilometer juga terdapat area hijau dengan pepohonan yang rindang. Nah tak heran pesona mini Eropa di Jogja ini akan membawamu ke Yogyakarta di masa lalu. Berjalan sedikit ke arah utara dari Gedung Agung, kamu akan menemukan jam yang berdiri persis di tengah seputaran yang dulu bernama Jalan Margomulyo.
Area ini lebih dikenal dengan nama Ngejaman. Nah, tugu jam tersebut dibuat tahun 1916. Tugu jam ini adalah tanda persembahan masyarakat Belanda untuk memeringati satu abad kembalinya Pemerintahan Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang berkuasa di Jawa pada awal abad ke-19. Kini, prasasti kecil yang menunjukan tulisan itu telah dihilangkan.
Tak jauh dari area Ngejaman ada GBIP Marga Mulya yang dibangun tahun 1857. Gedung ini dibangun sebagai tempat untuk ibadah orang-orang Eropa saat itu. Berjalan ke sebrang timur jalan, kamu akan bertemu bangunan Pasar Beringharjo. Sesuai namanya, dahulu wilayah Pasar Beringharjo pada awalnya adalah hutan beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Yogyakarta pada pada tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Ratusan tahun kemudian pada 24 Maret 1925, Keraton Yogyakarta menugaskan Nederlansch Indisch Beton Maatschappij (Perusahaan Beton Hindia Belanda) untuk membangun los-los pasar. Nama Beringharjo diberikan setelah bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada 24 Maret 1925. Makna nama ini menunjukan wilayah yang semula hutan beringin (bering), dan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H