Setelah sholat subuh, seperti biasa, saya nyomot  sebutir kurma Ajwa dan mempersiapkan dripper untuk menyeduh kopi. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi sebelum latihan lari, saya sarapan sebutir kurma dan menyeruput sampai tandas kopi hitam tanpa gula.
Jadwal latihan hari itu adalah tempo run 2,5 kilometer X 2. Beruntung sekali rumah saya hanya berjarak 2 kilometer saja dari area yang kondusif untuk latihan lari. Trek aspal mulus yang melingkar dan udara nyaman, sungguh andalan, Kiara Artha Park!
2,5 kilometer pertama selesai sesuai target. Setelah mengatur nafas dan jogging 100 meter, saya  bersiap untuk masuk  tempo run 2,5 kilometer kedua. Tiba-tiba suara panggilan masuk dihandphone, menyela "Sang Pepimpi"  Gigi yang sedari tadi menemani  berlari. Saya lirik Garmin ditangan kiri, baru 1,9 kilometer,  saya putuskan tetap berlari. Tapi, aah.. panggilan masuk terus berbunyi, menggangu konsentrasi berlari, tak bisa saya abaikan! Akhirnya saya pijit tombol penerima panggilan masuk di bluetooh openear-ku sambil menurunkan kecepatan lari. Â
"Hallo .....!" terengah dan sedikit emosi kubuka percakapan.
"Pagi kak, saya ojol... ... bla...bla...." Suara mamang ojol konfirmasi  sudah sampai di titik sesuai applikasi.
"Ok, pak terima kasih yah" Saya menutup percakapan sambil berpikir kiriman dari siapa yah?
Ketika akan bersiap kembali kecepatan seharusnya, panggilan masuk menyela lagi. Saya terima dengan percakapan standard seperti  dengan ojol tadi. Tapi kali ini terasa emosi lebih memuncak, karena saya merasa terganggu!
Bagaimana tidak terganggu dan emosi, saat itu saya sedang berlari dengan menggunakan hampir seluruh kapasitas aerobic yang dimiliki, lalu panggilan masuk menyela lebih dari satu kali. Auto fokus, kecepatan dan Heart Rate saya jadi ambyar, terpecah. Harus menjawab telephone dengan suara terengah-engah, karena saat itu oksigen dalam tubuh saya sedang minim akibat peningkatan aktivitas tubuh karena tempo run ini. Emosi jiwa, sungguh emosi jiwa!!
Jadi, walaupun sebenarnya isi percakapan dengan mamang ojol itu standard saja, tapi saya merasakan gundukan rasa di hati yang mendorong saya menjawab telephone dengan suara keras dan mengumpat dalam hati! Ah kacau, sialan!! Pagi-pagi sudah bikin emosi!!!
Mood untuk melanjutkan latihan nyaris terjun bebas. Dan sebetulnya sudah tidak maksimal juga untuk dilanjutkan, karena tempo run kedua sudah ter-pause di 1,9 kilometer tadi. Tapi kupikir tanggung, biar saya lanjutkan saja.
Sesaat terlintas dalam pikiran, kiriman dari siapa lagi yah? Entahlah... tapi yang pasti memang untuk saya, karena hari itu adalah hari ulang tahun saya. Kembali kekecepatan tempo run-ku, baru saja beberapa meter, sedetik saya melihat lebah hitam terbang ke arahku. Aaaaawwww...!!! Replek kututup muka dengan kedua tangan dan saya terhuyung. Seketika rasa sakit disertai terbakar menjalar di jidat!
Innalillahi! Saya dicetot lebah!!! Yang sedetik tadi mata saya melihat si lebah, ternyata tak mampu menghindarkan tabrakan adu banteng ini. Dia menyengat saya tepat di sudut kelopak mata kiri. Panas, perih, sakit yang berdenyut-denyut sungguh sangat menyiksa. Ingin menjerit, ingin ..entah ingin apalagi, yang jelas sangat menyiksa! Tapi saya berusa tidak panik, mencoba mengingat-ingat panduan  praktis pertolongan pertama disengat lebah.
Pertama yang diingat adalah membersihkan sengatan. Tergopoh saya menuju toilet. Sesampai di sana saya basuh bekas sengatan itu di westafel. Berkurang sakitnya?? Tidak!
Pulang, saya harus pulang! Dari toilet lansung menuju parkiran motor. Biasanya jika latihan lari di Kiara Artha Park, dari rumah saya pakai sepeda road bike, hitung-hitung warming up. Entah kenapa hari itu saya memilih mengendarai motor. Tidak terbayang andai saya pakai road bike, dalam keadaan seperti itu pasti butuh effort lebih! Â Â Â
***
Sesampai di rumah bekas sengatan itu saya guyur lagi dengan air dingin. Sekitar mata sudah merah membengkak. Saya olesi madu, berharap sakit mereda, dan bengkak tidak melebar. Tapi menuju ke siang ternyata bengkak malah semakin melebar ke pipi. Akhirnya saya gunakan obat over the counter, minum paracetamol, berbaring, dan mengompres area bengkak dengan air dingin.
Saat berbaring, saya sudah bisa merasa tenang, rasa panik perlahan hilang . Saya pejamkan mata, mencoba menahan dan menerima rasa perih dan sakit yang masih terus berdenyut. Mencoba mengingat saat-saat sebelum tabrakan head to head dengan lebah itu terjadi.
Panggilan masuk lebih dari satu kali menyela latihan tempo run, menjawab telephone mamang ojol dengan emosi, dan mengumpat di hati. Nah!!! Duh, kenapa saya musti emosi, bahkan sampai mengumpat walau cuma dalam hati? Padalah kalau mau dicerna, mamang ojol pagi itu justru membawa hal baik, membawakan kiriman-kiriman hadiah ulang tahun saya.
Lagi pula, kalau benar-benar saya tidak ingin terganggu, seharusnya saya tidak mengaktifkan mobile data atau menonaktifkan  fitur panggilan masuk. Jadi, keteledoran ada di siapa? Kesalahan ada di siapa? Percapan bathin saya mencoba terus mencari sebab akibat.
Pagi hari yang seharusnya saya sambut dengan penuh syukur, karena Alloh sudah memberi saya kesempatan untuk sampai diusia setengah abad dengan banyak berkat dan segala kebaikan, tapi saya nodai dengan emosi dan energy yang tidak baik.
Mamang ojol pagi itu pasti berangkat dengan niat ibadah mencari rejeki. Tapi masih sepagi itu sudah mendapat jawaban telephone dengan nada tinggi dari customer. Sudah pasti ada perasaan tidak enak di hati mamang ojol itu.
***
Jadi, mungkinkah sengatan lebah dan segala sakit yang saya rasakan ini adalah teguran atas ketidakpantasan yang sudah saya lakukan? Â Perlahan, dengan kesadaran dan penyesalan yang merayap memenuhi relung hati, saya meng-iya-kan.
Emosi, sudah banyak kisah hancur lebur, penyesalan selangit, akibat dari mengumbar emosi! Hanya terdiri dari lima huruf, tapi mampu membakar dan menghancurkan segala hal. Energy negative yang dihasilkan dari emosi sangat luar biasa!
Tuhan mempunyai cara sendiri menegur umatNya. Terkadang dalam waktu entah kapan, tapi seringkali seperti saya kali ini, hanya beberapa saat dari perbuatan yang semestinya tidak saya lakukan. Musibah dan rasa sakit yang saya rasakan mungkin tidak seberapa dibanding dengan sedihnya mamang ojol yang sedang berjuang mencari rejeki.
Allohu Akbar!!! Saya terima musibah ini dengan ikhlas. Mohon ampun atas ketidakmampuan saya mengelola emosi, hingga harus menyakiti orang lain. Kuterima dengan lapang dada rasa sakit dan perih  ini sebagai kecupan dr Mr. Bee, hadiah berupa pelajaran indah di moment setengah abad saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H